Ajarkan Anak-anak Moderasi Beragama!
Dua tahun lalu, Sekolah Minggu GKI Maulana Yusuf berkunjung ke salah satu pondok pesantren di kota Bandung. Acara kunjungan itu diikuti oleh 200 anak Sekolah Minggu. Mereka duduk di kelas 4-6 Sekolah Dasar. Kyai muda, pemilik pondok pesantren, beserta dengan 200-an pelajar pesantrennya, menerima kunjungan itu dengan sangat ramah. Anak-anak itu duduk di ruangan yang cukup besar beralaskan tikar. Mereka duduk terpisah.
Awalnya anak-anak itu agak rikuh dan sangat kaku. Maklum, mereka belum pernah jumpa dan saling berinteraksi. Tetapi Pendeta dan Kyai memulainya dengan mendemonstrasikan keakraban mereka. Keduanya mengajak anak-anak itu ngobrol, sambil sesekali melontarkan joke lucu. Anak-anak mulai tertawa. Suasana menjadi cair. Mereka mulai lebih akrab.
Beberapa anak Sekolah Minggu berinisiatif pindah tempat duduk. Mereka mengambil tempat di tengah para pelajar pesantren. Begitu juga sebaliknya. Mereka ngobrol, saling bercanda, tertawa bersama, dan saling memberikan info nomor HaPe. Kunjungan itu berlangsung sekitar tiga jam, tetapi anak-anak itu semakin terbuka wawasannya. Umat beragama lain telah dirangkul dan dihormati sebagai sahabat dan bahkan saudara. Itulah moderasi beragama!
Memang, kunjungan anak Sekolah Minggu ke pesantren adalah program Sekolah Minggu GKI MY untuk menanamkan sikap moderasi beragama. Sikap ini harus ditanamkan kepada anak-anak sejak usia dini. Selama ini, anak-anak Indonesia berbagai agama, hidup dalam ‘segregasi’. Mereka tidak difasilitasi untuk berinteraksi dengan anak-anak yang berbeda agama. Anak-anak dididik di Institusi pendidikan yang dimiliki Institusi agamanya. Homogen! Mereka tidak punya sahabat yang beragama lain.
Disadari atau tidak, agama-agama sedang membangun mentalitas eksklusifisme dalam diri anak-anak. Yang jauh lebih berbahaya adalah ketika sebagian orang mengajarkan anak-anak ini untuk saling membenci dan menuding mereka yang berbeda sebagai kafir, sesat, jahat, dan sebagainya. Dan ini akan menjadi bom waktu yang membahayakan mereka di masa depan.
Itulah sebabnya, moderasi beragama sangat penting! Tetapi, apa makna dan fungsinya? Moderasi beragama adalah sikap tidak ekstrim kiri, tidak ekstrim kanan. Neither-nor! Moderasi beragama adalah strategi jitu untuk menghadapi segala jenis eksklusifisme dan fundamentalisme agama yang menjadi cikal-bakal munculnya radikalisme-ekstrimisme.
Moderasi beragama adalah kebajikan moral-etis untuk menjadikan agama sebagai inspirasi kemanusiaan, keadilan dan kesetaraan. Meski menghargai warisan tradisi keagamaan, moderasi beragama senantiasa memperhitungkan konteks historis beserta dengan tantangan dan persoalan yang sedang terjadi.
Moderasi beragama menolak absolutisme agama yang menganggap apa yang diyakini sebagai yang paling benar. Ini adalah bentuk idolatri, pemberhalaan keyakinannya sendiri. Efeknya, umat lain dituduh sesat. Nah, moderasi beragama menekankan kerendahan hati dalam beragama. Semua harus saling mendengarkan, dan saling belajar untuk berubah. Apa yang kita pahami tidak akan pernah sempurna, karena yang sempurna itu hanya Tuhan.
Moderasi adalah daya lenting agama dalam menyikapi perubahan dan pembaruan situasi. Tujuannya jelas: agar di tengah perbedaan dan pertentangan antar kelompok, semua bisa hidup saling berdampingan dan belajar saling menghormati untuk kebaikan semua. Bila prinsip kaum eksklusif-radikalis adalah “apa yang baik bagi kami, baik bagi semua.”
Prinsip moderasi beragama adalah “apa yang baik bagi semua, adalah baik bagi kami.” Atas dasar ini, moderasi beragama berupaya membangun kebaikan bagi semua dengan menebarkan benih-benih toleransi, sikap saling menghormati dan saling mengakui keberadaan yang lain. Mereka yang berbeda agama bukan lagi musuh, tetapi sahabat dan saudara.
Kontribusi terbesar agama-agama bagi bangsa di masa sekarang ini adalah membangun mentalitas moderasi beragama kepada setiap orang, terutama kepada anak-anak sehingga mereka mewarisi agama yang ramah bukan agama yang marah. Agama yang membangun peradaban, bukan agama yang melahirkan kebiadaban. Agama yang menjadi berkat, bukan penghasil laknat!
Salam,
Albertus Patty