Blind Spot
“Biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir,” kata Amos.
Hampir semua bangsa, termasuk bangsa kita, hidup dalam ilusi yang berujung pada potensi kehancuran diri kita sendiri.
Kita yakin bahwa kita akan mampu mencapai yang terbaik dalam hidup ini dengan mudah. Kita percaya bahwa segala persoalan sosial yang berat akan kita selesaikan dengan gampang. Ini adalah ilusi karena ia justru membutakan kita bahwa pangkal dari persoalan sosial terbesar sesungguhnya ada pada diri kita sendiri. Diri kita menjadi a blind spot yang terabaikan dalam pengamatan kita.
Kasus Papua menunjukkan jebakan ilusif yang menjerat kita. Kita memulai dari satu asumsi sangat berbahaya: kami yang benar melawan mereka yang salah! Pendekatan manikeanistik yang usang! Kita kalap lalu mengkambing hitamkan begitu banyak orang. Bahkan para pejuang kemanusiaan pun kita beri label makar. Kita berupaya keras menutup bau bangkai dengan merekayasa sangat banyak deklarasi damai. Kita mengintimidasi orang lain dengan kekuatan senjata dan kita berilusi semua sudah beres dan damai.
Sayangnya, semua aksi kita menunjukkan hampir tidak ada perubahan paradigma apa pun dalam penyelesaian kasus Papua. Pendekatan yang ada hanya copy paste! Kita mengulang kesalahan lama. Kreatifitas kita lenyap! Akibatnya? Catat ini! Upaya keras kita menghasilkan hanya perdamaian semu. Cuma sebatas kulit. Tidak substantif! Persoalan utama Papua yaitu keadilan bagi orang Papua tidak kita sentuh. Keadilan tidak dibicarakan!
Kita enggan membicarakan soal keadilan karena ketika kita membicarakannya ia akan membuka aib kita sendiri. Mewacanakan keadilan menempatkan kita pada posisi yang rapuh. Keadilan memaksa kita merendahkan diri, duduk berbicara dan berdialog dalam posisi sejajar. Saling menghormati! Keadilan memaksa kita semua mengoreksi diri sendiri, termasuk mengoreksi semua kebijakan kita.
Sayangnya, kosa kata dan praksis keadilan diabaikan dalam penyelesaian kasus Papua. Padahal, keadilan selalu mendahului perdamaian. Kita jadi pesimis karena kita tahu satu hal penting ini: tidak akan pernah ada perdamaian sejati tanpa keadilan bagi orang Papua.
Oleh karena itu percakapan yang substantif adalah bukan bagaimana menciptakan perdamaian di Papua. Percakapan yang substantif adalah bagaimana menciptakan kebijakan yang menghasilkan keadilan bagi orang dan bagi tanah Papua!
Salam,
Albertus Patty