Cepat & Kreatif atau Mati!

“Kalian tak perlu datang membantu kami. Bantuan kalian hanya menciptakan masyarakat bermental pengemis. Kami tak butuh kalian,” cetus kasar seorang laki-laki tambun yang kami temui di pesawat dalam misi bantuan kemanusiaan. Dari baju yang dikenakan serta pin yang melekat pada bajunya kami tahu bahwa dia seorang pejabat tinggi pemerintah di daerahnya. Dalam pemberitaan media masa, masyarakat dimana pejabat itu bekerja justru terkena bencana busung lapar akut. Bahkan sebelum busung lapar pun daerah berpenduduk mayoritas Kristen ini dikenal sebagai daerah miskin.

Jadi, saya terkejut respon kasarnya. Tetapi saya tetap cool meresponnya. ”Oke pak. Thanks masukannya. Percayalah bantuan kami tidak akan membuat mereka bermental pengemis.” Saya sudahi percakapan.

Saat tiba di daerah bencana, kami shock berat dengan situasi yang ada. Banyak orang, besar-kecil, tua-muda, yang kurus kering kelaparan. Tubuh bayi-bayi itu tinggal tulang berbalut kulit. Perut mereka membusung tinggi. Ada yang digendong. Ada yang rebah di atas tikar lusuh dan kotor. Lalat-lalat liar mengerubungi tubuh-tubuh yang tidak berdaya seolah mereka sudah mati. Memang, kami sudah sedikit terlambat karena beberapa anak dan bayi sudah mati dalam kelaparan. Sedih dan marah menyatu dalam diri saya. Kok bisa ini terjadi?

Para korban busung lapar adalah anak-anak Tuhan yang seharusnya tidak mengalami nasib buruk ini bila Pemerintah Pusat, Pemda, dan gereja kreatif dan cepat meresponnya. Berbagai krisis, terutama krisis ekonomi, dan perkembangan teknologi digital, mengharuskan kita bekerja lebih cepat, lebih kreatif, sistematik dan sinergis dalam mengantisipasi dan merespon apa pun.

Siang itu juga tim pertama kami berhasil mendata puluhan desa yang paling parah dan langsung membantu para korban dengan makanan dan minuman sehat. Tim kedua bertugas mencari tempat yang bisa digunakan untuk menampung bantuan sekaligus mendata potensi desa yang bisa dikembangkan untuk perbaikan ekonomi ke depan.

Tim ketiga berbicara dengan pemimpin gereja-gereja lokal untuk mengatur mekanisme penyaluran bantuan dan kerjasama pemberdayaan ekonomi ke depan. Tim keempat melakukan pendekatan ke Pemda untuk berdiskusi tentang pendekatan apa saja yang perlu dilakukan bersama untuk mengatasi bencana kemanusiaan itu.

Tim keempat bertemu dengan pejabat bertubuh tambun yang kami temui di pesawat. Ia datang dengan mobil Alphard mengkilap. Jarinya penuh cincin gemerlap. Kontras dengan kelaparan di daerahnya. Bukannya berterima kasih rakyatnya dibantu, saat berjumpa kami dia langsung bicara dengan emosi tinggi. Menolak bantuan apa pun.

Belakangan kami baru tahu bahwa kemarahannya muncul karena dia malu akibat ketidakbecusannya mengelola pemerintahan, masyarakatnya menderita kemiskinan dan bahkan kelaparan. Ia merasa ditelanjangi!

Memang banyak pejabat, di pusat dan di daerah, kurang kapasitas dan tanggungjawab. Lebih parah lagi banyak pejabat yang korup. Ini yang membuat kemiskinan dan kelaparan bukanlah nasib, tetapi, mengutip Noah Yuval Harari, ia sebuah desain politik. Tentu saja dari politisi amoral.

William Liddle menyatakan selain radikalisme yang suhunya sedang meninggi, salah satu ancaman terbesar demokrasi yang bisa menghancurkan bangsa kita adalah korupsi. Artinya ancaman kehancuran bangsa justru datang dari dalam diri kita sendiri. Lebih tepat dari para pemimpin kita yang tuna moral. Liddle benar karena tahun lalu KPK berhasil menangkap 178 pejabat pusat dan daerah karena korupsi. Itulah sebabnya upaya pelemahan KPK adalah strategi para koruptor.

Sementara ironisnya kita diperhadapkan pada upaya oknum-oknum KPK menyalagunakan wewenangnya untuk tujuan pribadi dan politik kekuasaannya. Kita semua bingung meresponnya. Masyarakat kecil kembali menjadi korban yang mati dalam kesia-siaan.

Bangsa kita harus mencari cara yang jitu guna mencegah korupsi. Pada sisi lain, kita harus bersinergi dan berkolaborasi untuk menolong rakyat kecil yang miskin dan lapar karena ketidakbecusan para pejabatnya. Tidak boleh lagi ada yang menderita dan mati karena terlambat pertolongan!

Oleh karena itu dalam era krisis ekonomi ini kerja cepat, kreatif dan kolaboratif ditunjang pemanfaatan teknologi digital dalam pelayanan gereja-gereja kita bagi sesama, apapun agama dan etniknya, menjadi suatu keharusan!

 

Salam,
Albertus Patty

 

Bagikan

ARTIKEL TERKAIT

Pra Sidang Raya PGI, Albertus Patty Singgung Demokrasi Cacat Jika Abaikan Perempuan

Pendiri bangsa yang dari Kristen menolak dengan tegas negara agama. Mereka menuntut negara harus didasarkan pada demokrasi. Sebab sesuai prinsip…

PGI & Antisipasi Perpindahan Ibu Kota!

Pada 26 Agustus 2019, Presiden Joko Widodo mengumumkan rencana pemindahan lokasi ibu kota. Sehari setelahnya muncul kekhawatiran atas sepak terjang…

Ketua PGI Usul Pelajaran Multikulturalisme Masuk Kurikulum Pendidikan

Kalau kita tidak mewaspadainya dari sekarang, kita bisa terus-menerus mengalami konflik. Ketua Persekutan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Pendeta Albertus Patty…

Ide Gila Albertus Patty, Kristen Nusantara!

Kadang kita abai bertanya: Mengapa namanya Gereja Masehi Injili Timor ( GMIT) bukan Gereja Masehi Injili di Timor? Beda kedua…