Idul Fitri dan Evolusi Mental-Spiritual Kristen!
Perayaan Idul Fitri lalu telah meninggalkan kesan sangat manis bagi saya. Saya gembira karena umat Islam bisa menikmati kegembiraan dan kemenangan dalam perayaan Idul Fitri meski dihadang oleh keterbatasan efek pandemi Covid-19. Spirit kemenangan Idul Fitri pasti memberikan kekuatan moral dan spiritual yang dahsyat bagi umat Islam untuk menghadapi dan menaklukkan tantangan apa pun. Amien!
Paling tidak ada tiga kesan manis yang saya dapatkan saat Idul Fitri. Pertama, tepat pada hari raya Idul Fitri beberapa tetangga mengirimkan kami sekeluarga makanan khas Idul Fitri yaitu ketupat, lengkap dengan opor ayam, petai tumis pedas, sambal, kerupuk dan berbagai penganan lainnya. Semuanya diberikan secara gratis!
Kami mensyukuri dan sangat menikmatinya. Lebih dari itu kami bersyukur karena ternyata kultur berbagi makanan di saat lebaran belum lenyap. Ini anugerah terbesar bagi bangsa. Idul Fitri menjadi kekuatan yang memperkuat kohesi masyarakat. Ini modal sosial sangat berharga. Kita harus mempertahankannya.
Kesan manis kedua adalah ini. Setelah mendapatkan kiriman makanan khas Idul Fitri, saya membuat penelitian kecil-kecilan. Saya mengirimkan pertanyaan via WA kepada 20 orang teman yang bukan penganut Islam. Pertanyaannya sederhana: menu apa yang anda nikmati pada saat Idul Fitri ini?
Jawabannya sangat mencengangkan. Semuanya menjawab menu utama mereka siang itu ketupat dengan penganan lainnya yang khas idul Fitri. Jadi, pada siang itu, taruhlah, sebagian besar, orang Indonesia menikmati jenis makanan yang sama. Artinya, Idul Fitri bukan saja dirayakan oleh umat Islam, tetapi ia sudah menjadi milik kita semua. Milik bangsa Indonesia. Semuanya ikut merasakan kegembiraan. Semua ikut mensyukurinya.
Kesan manis ketiga lebih dahsyat lagi. Saat Idul Fitri kemarin sangat banyak lagu-lagu ‘rohani’ Islam yang dinyanyikan umat Kristen dan Katolik, dan bahkan oleh para Pendeta, Pastor dan suster Katolik.
Lagu-lagu rohani Islam itu dinyanyikan dengan tujuan mulia yaitu untuk menunjukkan keakraban dan persaudaraan yang melampaui sekat-sekat etnik dan agama. Melalui lagu-lagu itu dinyatakan bahwa kegembiraan umat Islam adalah kegembiraan kita semua, segenap anak bangsa ini.
Pertanyaannya, apa yang sebenarnya sedang terjadi sehingga para pendeta, pastor dan suster ramai-ramai menyanyikan lagu-lagu rohani Islam itu? yang terjadi adalah ini. Umat Kristen dan Katolik telah berhasil membebaskan dirinya dari belenggu teologi ‘Barat’ yang diwarisinya.
Warisan teologi ‘Barat’ cenderung menanamkan sikap polaristik: umat Kristen sebagai anak terang Vs umat lain sebagai anak kegelapan, kami anak Tuhan Vs yang lain sebagai anak setan. Ada mental triumfalistik! Kami lebih benar, yang lain sesat! Ada truth claim! Relasi yang dibangun adalah Subyek-obyek. Mereka yang berbeda adalah obyek penginjilan atau proselitisme. Mentalitas seperti ini menonjol terutama pada era sebelum kemerdekaan.
Syukurnya, setelah melalui pergumulan teologis yang sangat berat dan setelah melalui perjuangan bersama untuk meraih kemerdekaan, umat Kristen/Katolik akhirnya berubah total. Umat Kristen/Katolik berhasil menanggalkan mentalitas polaristik dan triumfalistik itu. memang, mentalitas itu merusak spiritualitas dan kematangan emosional diri sendiri.
Atas nama ‘kebenaran agama’ kita justru kehilangan kemanusiaan. Bukan jadi manusia yang ramah, tetapi menjadi makhluk pemarah. Mentalitas itu mengubah kita menjadi serigala terhadap siapa pun, termasuk kepada saudara sebangsa. Mentalitas ini cenderung melihat yang lain sebagai ancaman. Yang lain menciptakan ketakutan. Efeknya, ia berpotensi merobek persatuan bangsa dan negara.
Ada banyak tokoh yang menjadi teladan persatuan bangsa. Tetapi ada dua tokoh yang ucapannya menjadi tonggak perubahan mentalitas dan spiritualitas umat Kristen/Katolik. Pertama, Romo Soegija. Ia berkata kita “Seratus persen Katolik, Seratus Persen Indonesia.” Kedua, Leimena yang menyebut status dwi kewarganegaraan umat Kristen: kewarganegaraan Kerajaan Allah dan kewarganegaraan Indonesia.
Ucapan mereka menjadi tonggak penting yang menandai sebuah perubahan besar dalam mentalitas dan spiritualitas serta dalam teologi Kristen/Katolik. Perubahan itu membuat Umat Kristen/Katolik melihat dirinya menjadi bagian inheren dari bangsa Indonesia yang beranekaragam ini.
Perubahan dan evolusi itu terus berlanjut sampai saat ini. Banyak lagu rohani Kristen diciptakan untuk mensyukuri sekaligus memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Perlengkapan ibadah plus liturginya juga semakin disesuaikan dengan budaya Indonesia yang beragam. Yang terpenting, umat lain, terutama umat Islam, tidak lagi dilihat sebagai obyek penginjilan atau obyek kristenisasi.
Kini, umat beragama mana pun dilihat secara positif. Umat lain diakui dan dihargai dengan penuh hormat sebagai saudara sebangsa. Umat lain bukan lagi obyek, tetapi subyek yang setara dan yang akan bersinergi demi keutuhan, kesejahteraan, dan keadilan bersama.
Evolusi yang yang terjadi di kalangan Kristen/Katolik ini mirip yang terjadi pada NU dan Muhammadiyah. NU menciptakan kontekstualisasi dengan label Islam Nusantara, Islam yang dihayati dalam keunikan budaya dan keragaman bangsa Indonesia.
Muhamaddiyah berevolusi dalam penghayatannya tentang Islam dengan memberi penekanan pada nalar. Mereka menyebutnya sebagai ‘Islam berkemajuan,’ Islam yang dihayati dalam semangat yang mendorong berkemajuan dan pada akhirnya meningkatkan martabat pribadi dan bangsa.
Umat Kristen/Katolik pun terus-menerus mengalami evolusi mental-spiritual dan keagamaan. Seolah ia mulai memiliki paras “Kristen Nusantara” dan “Kristen Berkemajuan.” Memang, penghayatan agama itu pada dasarnya fleksibel.
Dalam merespon tantangan dan persoalan yang dihadapinya, penghayatan agama senantiasa mengalami proses evolusi. Ini yang membuat agama tidak pernah mati. Ini juga pesan penting yaitu tanpa keterbukaan untuk melalui proses evolusi, agama tidak punya makna. Ia akan dicampakkan.
Nah, lagu-lagu rohani Islam yang dinyanyikan para Pendeta, Pastor dan Suster pada masa Idul Fitri itu adalah bagian dari evolusi mental-spiritual dan evolusi dalam penghayatan keagamaan. Ini evolusi positif yang terjadi pada umat Kristen/Katolik. Evolusi spiritual keagamaan inilah yang kita harap akan terus terjadi karena hanya inilah modal yang sangat penting dalam menjamin keadilan, perdamaian dan persatuan bangsa Indonesia.
Salam,
Albertus Patty