Fokus Pada Penderitaan. Bukan Penyakitnya!
Sebuah pertanyaan mampir ke-WA saya: apa kontribusi agama dalam wabah Covid-19? Pertanyaan ini muncul karena Covid-19 menciptakan banyak masalah: penyakit, persoalan ekonomi, dan perubahan gaya hidup, cara berinteraksi dengan sesama dan cara kita belajar dan bekerja.
Kalau tidak siap dengan setumpuk masalah di atas, kita akan menderita: frustrasi, neurotik, dan puncaknya putus asa.
Apa kontribusi agama? Kontribusi agama bisa dalam dua aspek. Pertama, tidak melakukan hal-hal yang memperparah situasi yang ada. Misalnya menghentikan, untuk sementara, aktifitas yang mengumpulkan massa, menghentikan provokasi yang memecah-belah relasi inter dan antar agama, dan bersikap rendah hati untuk mengakui ini memang bukan domain agama.
Kontribusi kedua bersifat aktif: mendoakan para dokter dan suster, relawan dan pejabat yang berjuang keras mengatasi pandemi Covid-19, serta membangun solidaritas dan kerjasama inter dan antar umat beragama dalam segala bidang kehidupan, terutama pemberdayaan ekonomi. Cukupkan? Tidak! Ada kontribusi lain yang bersifat substansial yang diurai di bawah ini.
Penyakit adalah kewajaran. Ini masalah biologis. Sepanjang kita hidup penyakit pasti ada. Tidak terelakkan. Kita tidak dapat mengontrolnya. Tetapi, cara orang meresponnya bisa berbeda. Orang bisa memilih: meresponnya secara negatif dan kekanak-kanakan atau secara positif dan kedewasaan. Respon negatif dan kekanak-kanakan menimbulkan penderitaan.
Efeknya, keluh-kesah, marah, takut, panik, frustrasi, kehilangan harapan dan putus asa. Sebaliknya, orang pun bisa meresponnya secara positif dan dalam kematangan. Penyakitnya dan persoalan apa pun, tidak akan pernah memupus kegembiraan, rasa syukur, pengharapan dan iman kepada Tuhan. Ia tetap tegar, bahkan tetap berupaya jadi berkat dan rahmat bagi sesama!
Agama tidak berurusan dengan penyakit. Itu urusan biologis. Para dokter ahlinya. Agama pun tidak berurusan dengan kebijakan ekonomi. Urusan ekonom. Kontribusi agama adalah mempersiapkan umat agar merespon Covid-19 ini dengan sikap mental dan spiritualitas yang positif dan matang.
Tanpa sikap positif dan dewasa, orang akan menderita meski tidak sakit apa pun. Hidupnya akan dibayangi keluh kesah, frustrasi dan keputusasaan. Sebaliknya, respon positif akan menghasilkan kegembiraan, pengharapan, iman serta cinta kasih dalam situasi apa pun.
Tung Desem Waringin, pengusaha yang menyebar duit melalui pesawat, tertular Covid-19. Ia sakit, tetapi ia menolak menderita. Ia memilih merespon penyakitnya secara positif dan dalam kedewasaan. Ia terus bernyanyi, bergembira dan membagi harapan kepada siapa pun.
Jadi, fokus agama bukan mengusir Covid-19 dan masalah ekonomi seolah keduanya merupakan setan atau iblis besar. Seharusnya agama memfokuskan diri menolong umat agar dalam situasi apa pun, sehat atau sakit, terpuruk atau sukses, meresponnya dengan positif dan dengan kedewasaan.
Sikap ini memampukan orang melihat dan memahami bahwa ternyata persoalan adalah kesempatan yang Tuhan berikan untuk memperkuat iman, meningkatkan kreatifitas, dan membangun solidaritas dengan sesama dan bumi ini.
Salam,
Albertus Patty