Harta Karun yang Tak Ternilai
Epictetus, Filsuf Yunani, berkata, “Manusia yang belum mampu menguasai diri dan emosinya adalah manusia yang belum sungguh-sungguh merdeka.”
Salah satu nasehat penting yang kita dapatkan dari agama adalah perlunya penguasaan diri. Di balik ritus berpuasa adalah pengendalian diri dari tuntutan tubuh untuk melahap siapa saja dan apa saja demi memuaskan ego pribadi. Dalam ajaran untuk mengasihi dan mencintai sesama adalah pesan agar manusia mengendalikan diri dari ketamakan yang bersumber pada self-centeredness terhadap sesama. Sementara substansi ajaran untuk mengampuni adalah bentuk pengendalian diri dari nafsu untuk menindas dan mengeksploitasi apa pun dan siapa pun.
Pengendalian diri adalah sebuah proses menemukan keindahan etik dan moral manusia sebagai citra Allah, Sang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Tanpa pengendalian diri, manusia, kata Plautus dalam karyanya ‘Asinaria’, akan menjadi serigala terhadap sesamanya, Homo Homini Lupus!
Ironisnya, belakangan ini ada gejala yang sebaliknya. Semakin orang menghayati agamanya, semakin meletup-letup emosinya dan semakin ganas perilakunya. Semakin beragama seseorang semakin tidak mampu dia mengendalikan diri.
Sebagian orang bagaikan petasan dengan sumbu pendek yang mudah meledak. Emosinya bagaikan lahar panas gunung berapi yang menerjang dan membinasakan apa pun di hadapannya. Kemarahan mudah tersulut, kebencian gampang meletup, dan kekerasan yang menjijikkan pun termuntahkan hampir setiap saat.
Pengedalian diri adalah harta karun yang tidak ternilai harganya. Ia harus kita temukan kembali karena hanya dalam pengendalian dirilah terletak pengharapan bagi survivenya manusia dan planet ini di masa kini dan di masa depan. Tuhan berkati!
Salam,
Albertus Patty