Ide Pdt. Albertus Patty bagi Gereja di Indonesia
Sinode Gereja Kristen Indonesia (GKI) memang sudah bulat mengutus Pdt. Dr. Albertus Patty sebagai calon ketua umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) untuk periode 2019-2024. Pria yang dianggap sebagai salah satu kader terbaik GKI itu diyakini punya ide segar serta terobosan baru yang bisa memaksimalkan peran PGI sebagai organisasi persatuan gereja, sekaligus suara umat Kristen di Indonesia.
Namun, jauh sebelum hiruk-pikuk perhelatan pemilihan ketum PGI, kiprah pendeta berdarah Ambon ini sudah dikenal luas. Sebagian orang mungkin cukup mengenalnya sebagai pengisi di mimbar Kristiani televisi maupun radio. Lebih dari itu, Pdt. Patty merupakan sosok pemimpin Kristiani yang cukup aktif dalam dialog lintas agama di Indonesia. Ia juga giat menyuarakan agar gereja lebih membuka diri serta melek akan permasalahan sosial-politik di bangsanya.
Nyaris tak terhitung lagi forum dan media nasional yang menjadi pengunggah pemikiran serta ide-ide Pdt. Patty. Lepas dari sekedar jabatan organisasional yang diembannya di GKI, PGI atau banyak organisasi Kristen lain, pendeta di GKI Maulana Yusuf Bandung ini memang sangat sering dijadikan rujukan untuk membahas permasalahan sosial-politik terkini.
“Latar pendidikan saya memang cukup membantu. Penelitian awal saya mengkaji soal pembauran etnis, lalu kajian pendidikan dewasa, juga kemudian studi doktoral terkait dialog lintas iman. Ini memang relevan dengan isu yang kini banyak kita gumuli sebagai gereja maupun bangsa,” ungkap Pdt. Patty dalam salah satu wawancara Juli lalu.
Pria yang mengenyam pendidikan di STT Jakarta, Indiana University of Pennsylvania dan Pittsburgh Theological Seminary itu meyakini peran seperti itu bukan didapat karena sekedar posisi organisasinal atau sekedar bakat, tapi lebih karena dirinya ingin terus belajar sembari meluaskan pemahaman.
Lantas, apa yang dinilai Pdt. Patty sebagai hal penting untuk dikerjakan bersama gereja-gereja Kristen di Indonesia?
“Kuncinya ada di pemberdayaan dan kolaborasi,” simpulnya, lantas menjelaskan lebih jauh terkait tantangan yang dihadapi gereja dan Indonesia sebagai bangsa. “Yang paling terlihat adalah polarisasi di masyarakat karena munculnya politisasi agama. Ini ancaman bagi demokrasi dan kesatuan bangsa kita, seperti juga masalah kedua terkait kesenjangan kesejahteraan. Demokrasi dan kesatuan kita juga tidak akan bertahan tanpa peningkatan kesejahteraan.”
“Cukup banyak kantong kekristenan yang sangat butuh pemberdayaan ekonomi seperti di Mentawai, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi atau Papua. Tanpa pemberdayaan, suara gereja dan masyarakat Kristiani tidak bisa terdengar. Akan lebih disibukkan pada urusan diri sendiri, tidak akan berpikir dalam konteks masyarakat atau bangsa,” lanjut Pdt. Patty
Lebih jauh, pemberdayaan sumber manusia bagi warga Kristiani juga merupakan hal mendesak. “Di berbagai bidang kita sangat kekurangan sumber daya manusia. Sekedar untuk posisi-posisi di berbagai lembaga negara dan masyarakat pun terasa sekali gereja tidak pernah menyiapkan orang. Ini kebutuhan yang sudah tak mungkin ditawar lagi,” tegasnya.
Gereja di Indonesia secara bersama-sama diyakininya bisa menjadi jembatan yang memungkinkan dua pemberdayaan itu. Termasuk berkolaborasi dengan pemerintah dan pengusaha, serta memanfaatkan jaringan antar gereja. **bs