Intelektual: Tradisional & Organik?

Saat PIKI menyelenggarakan kongresnya, saya teringat pada pemikiran Gramsci tentang kaum intelektual. Dia menyingkap adanya persoalan besar yang dialami oleh kaum intelektual atau kaum intelegensia, dan mungkin juga ini dialami dan digumuli oleh Persatuan Intelegensia Kristen Indonesia (PIKI).

Antonio Gramsci, pemikir Neo-Marxis asal Italia, memaparkan konsepnya tentang kaum intelektual dan peranannya dalam masyarakat. Menurut Gramsci, kaum intelektual terbagi atas 2 kategori, yaitu intelektual tradisional dan intelektual organik Pembagian dua kategori itu tidak terlepas dari relasi kuasa antara negara dan masyarakat, terutama relasi antara penguasa dan masyarakat yang dikuasai.

Menurut Gramsci, intelektual tradisional adalah mereka yang bertugas sebagai kepanjangan tangan pemerintah untuk mengarahkan masyarakat agar menyepakati ide-ide yang dikehendaki oleh pemerintah. Kaum intelektual ini memberikan pengaruhnya dengan memanfaatkan pengetahuan untuk mendukung kelas penguasa.

Mereka adalah para dosen atau guru, pimpinan institusi, pejabat-pejabat di lingkungan pemerintahan yang dengan pengetahuannya yang luas dan statusnya turut mendukung penyebaran isu yang dilempar oleh penguasa kepada masyarakat.

Tentu saja fungsi mereka itu bukan sesuatu yang gratis. Ada kepentingan atau motif yang pasti menguntungkan posisinya. Oleh karena itu, kaum intelektual tradisional ini biasanya menempati posisi-posisi strategis dalam pemerintahan.

Kaum intelektual ini turut diuntungkan dengan adanya agenda penguasa. Jaminan tunjangan gaji, janji kenaikan pangkat, hibah proyek, dan keuntungan-keuntungan materi lain. Oleh karena itu, para intelektual tradisional, menurut Gramsci, sering menjadi akademisi yang membeo dan bahkan menjustifikasi berbagai kebijakan yang salah dan merugikan rakyat yang dilakukan oleh penguasa negara yang adalah kaum oligarki yang berkuasa.

Mungkinkah intelektual tradisional ini mampu bersikap kritis terhadap penguasa yang membayar dan memfasilitasi hidupnya? Mungkin saja! Pasti ada! Tetapi jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Kebanyakan terkooptasi oleh penguasa! Sudah berada dalam comfort zone!

Kelompok Intelektual yang kedua, menurut Gramsci, adalah intelektual organik. Mereka yang dengan kesadaran dan pengetahuanya mengambil langkah untuk membangkitkan kesadaran perlawanan terhadap agenda-agenda penguasa. Kaum intelektual ini menggunakan sumber-sumber kekuatan yang dimiliki yaitu ilmu pengetahuan dan basis massa. Mereka berupaya melakukan empowerment, membangkitkan kesadaran masyarakat mengenai masalah-masalah sosial yang dialaminya.

Kelompok intelektual yang kedua inilah yang komit pada panggilannya untuk membela kepentingan masyarakat yang sering menjadi korban hegemoni dan dominasi penguasa dan kaum oligarki. Kelompok intelektual ini bukanlah kaum yang suka membeo terhadap penguasa. Mereka bukan intelektual yang anti terhadap penguasa.

Mereka konsisten mempertahankan sikap kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang bermasalah yang mengorbankan kepentingan masyarakat banyak.

Menurut Vedi Hadiz, di Indonesia ini sudah terlalu banyak intelektual tradisional. Dan ironisnya, kita sangat kekurangan intelektual organik. Padahal dari kelompok yang terakhir inilah kita bisa mengharapkan adanya suara kenabian yang berjuang bagi kepentingan kaum voiceless yang sering termarjinalkan.

Quo Vadis PIKI? Selamat berkongres!

Salam,
Albertus Patty



Bagikan

ARTIKEL TERKAIT

Kawin Beda Agama & Respons Gereja

Kawin Beda Agama (KBA) menjadi isu yang memantik perdebatan cukup panas di semua agama. Negara pun sangat berhati-hati dalam mengambil…

Kembalinya Keadilan dan Hukuman Mati Sambo!

Saya salut dan bangga terhadap Majelis hakim yang  memvonis mati Ferdi Sambo. Keputusan hebat itu menandakan bahwa para majelis hakim…

Malpraktik Agama

Susy menderita sakit parah cukup lama. Setiap hari Susy harus meminum beberapa obat, yang menurut dokter, wajib dikonsumsi. Susy sangat…

Bablas! Negara Urusi Selangkangan Rakyat!

Ada paradoks kehidupan yang sering tidak kita perhitungkan. Paradoks itu adalah ini. Orang ingin menegakkan yang baik, tetapi dengan cara…