Jangan Undang Saya!

Saat hendak berceramah soal hubungan antar agama, terutama Kristen dan Islam, seorang panitia mengingatkan saya bahwa pegawai sound system dan pelayan di hotel tempat saya berceramah adalah penganut Islam. “Mereka juga akan mendengarkan presentasi anda,” katanya.

Kemudian, sebagai panitia penanggung jawab acara, dia meminta pendapat saya untuk dua pertanyaan. Pertama, apakah para karyawan Muslim itu sebaiknya disuruh keluar dari ruang seminar supaya saya bebas membicarakan hal-hal sensitif. Kedua, apakah sebaiknya panitia melarang para peserta seminar merekam atau memforward presentasi saya yang, katanya, mungkin ada aspek sensitif yang bisa menimbulkan reaksi negatif kelompok Islam tertentu.

Saya bengong mendengar pertanyaannya. Lalu, saya katakan bahwa saya sama sekali tidak keberatan bila para karyawan Muslim itu tetap berada dan bekerja di ruangan seminar. “Saya orang yang punya integritas,” kata saya.

“Ada orang Islam atau tidak ada orang Islam. Di depan orang Islam atau di belakang orang Islam, saya selalu berbicara aspek-aspek yang positif tentang Islam. Saya suka menguraikan nilai-nilai luhur Islam yang melahirkan tokoh-tokoh kebangsaan sekaligus tokoh kemanusiaan yang besar, cerdas, berwawasan luas tetapi rendah hati seperti Raden Ajeng Kartini, Soekarno, Hatta, Gus Dur, Nurcholis Majid, Buya Syafii, Gus Mus, Kyai Said Aqil Siradj, Azyumadi Azra, Sri Mulyani Indrawati, Susi Pudjiastuti, dan masih banyak lagi.”

Saya harus jujur mengatakan bahwa saya banyak belajar tentang mengaitkan agama dengan kebangsaan dan kemanusiaan dari tokoh-tokoh berintegritas ini dan dari banyak intelektual muda Islam sahabat karib saya.

Si panitia mengangguk. Sebelum dia pergi, saya ingatkan dia, “Jangan pernah undang saya kalau di depan umat Islam saya omong yang bagus-bagus, tetapi di belakang mereka saya menista mereka dan agamanya. Jangan juga pernah undang saya bila di mimbar gereja saya omong cinta kepada sesama tetapi dalam relasi dengan sesama yang berbeda agama saya justru merendahkan dan menistanya. Itu artinya saya tak punya integritas.”

Dia mengangguk, lalu pergi sambil menggarukkan kepalanya. Entah apa yang dipikirkannya.

Salam,
Albertus Patty

Bagikan

ARTIKEL TERKAIT

Anies Baswedan Bapak Toleransi Beragama?

Pada 16 Oktober 2022, persis di ujung masa kepemimpinannya sebagai Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dianugerahi julukan sebagai “Bapak Toleransi…

Gerakan Relawan?

Ada fenomena menarik jelang Pemilu 2024. Fenomena itu adalah makin besarnya peran relawan seperti Projo, DGP dan lainnya. Ada puluhan…

Sabam Sirait & Spiritualitas Politiknya

Membicarakan sepak terjang Sabam Sirait dalam dunia politik selalu menarik. Apalagi bila dikaitkan dengan bukunya "Politik itu Suci." Konon, gagasan…

Ketaatan Agama Tanpa Logika

Dengan heran saya selalu bertanya: mengapa para teroris tega menabrakkan pesawat berpenumpang ke gedung WTC? Padahal, konon, para teroris yang…