Kawin Beda Agama & Respons Gereja
Kawin Beda Agama (KBA) menjadi isu yang memantik perdebatan cukup panas di semua agama. Negara pun sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan. Efeknya, ada kesan sikapnya mendua. Nah, tulisan ini akan membahas keputusan MK soal KBA dan bagaimana seharusnya respons gereja terhadap keputusan itu.
KBA menciptakan polarisasi internal agama. Pada satu sisi, ada rohaniawan yang menolak total KBA. Di sisi lain, ada yang mendukung KBA. Di pihak gereja pun sama. Ada yang menolak KBA. Ada yang menerimanya. Masing-masing kubu memperkuat argumentasinya dengan ayat-ayat suci. Hanya Tuhan yang tahu siapa yang benar.
Penulis sendiri berada pada posisi bisa menerima KBA. Alasan pertama adalah karena Tuhan tidak membedakan orang. Semua orang adalah ciptaan Tuhan dan semua orang adalah anak Tuhan. Alasan kedua adalah ini. Pilihan menikah dengan siapa pun adalah hak azasi manusia, sepanjang yang menikah laki-laki dan perempuan.
Gereja dan negara tidak punya hak mencampuri hak dan kebebasan pribadi seseorang. Tetapi soal pro-kontra KBA tidak dibahas di sini. Yang dibahas adalah keputusan MK terhadap KBA.
Keputusan MK
Seperti dikatakan di atas, ada kesan negara bersikap mendua terhadap KBA. Kita bisa melihatnya dari keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Judicial Review yang diajukan oleh Ramos Petege seorang beragama Katolik yang hendak menikah dengan seorang perempuan beragama Islam.
Memang dalam putusan terhadap Judicial Review itu, MK menolak permohonan Ramos Petege untuk melegalkan perkawinan beda agama. Di dalam Putusan Nomor 24/PUU-XX/2022 tersebut, terdapat 2 hakim yang memiliki pandangan/alasan berbeda dengan mayoritas hakim (concurring opinion).
Meskipun setuju bahwa permohonan Pemohon harus ditolak, kedua hakim tersebut berpandangan bahwa isu perkawinan beda agama semestinya diselesaikan oleh DPR dan Pemerintah selaku pembentuk undang-undang. DPR dan Pemerintah memiliki perangkat dan sumber daya yang lebih memadai dibandingkan MK.
Seharusnya Pemerintah dan DPR menjawab tuntas isu KBA ini melalui revisi UU Perkawinan. Revisi ini penting demi mengakomodir kepentingan dan aspirasi masyarakat yang majemuk ini.
Terlepas dari permohonan Petege, selama ini mereka yang melakukan KBA sering ditolak pencatatannya oleh pihak Catatan Sipil.
Agar bisa dicatat dan menjadi resmi sebagai suami-istri, pasangan KBA meminta penetapan pengadilan negeri untuk memerintahkan catatan sipil mencatatkan KBA tersebut. Berdasarkan keputusan pengadilan itulah pihak catatan sipil melakukan pencatatan KBA tersebut.
Pertanyaannya, apakah dengan keputusan MK itu pasangan beda agama tetap bisa meminta penetapan pengadilan (Pengadilan Negeri) agar pihak catatan sipil mencatatkan perkawinan mereka?
Jawabnya: tetap bisa! Hal ini sejalan dengan Pasal 35 huruf a UU Adminduk beserta Penjelasan, dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1400 K/Pdt/1986.
Apabila dicermati, Putusan MK tersebut, pada satu sisi, belum mengubah kondisi dan pola pencatatan perkawinan beda agama sebagaimana berlaku saat ini.
Di lain sisi, Putusan MK ini sesungguhnya menjadi momentum bagi DPR dan Pemerintah untuk meninjau ulang pengaturan perkawinan beda agama. DPR dan Pemerintah seharusnya bersikap pro-aktif dalam mencari solusi terbaik guna memastikan terlindunginya hak-hak konstitusional warga negara yang majemuk ini.
Seharusnya Pemerintah dan DPR bersikap realistis terhadap ke-bhineka-an bangsa dan mampu merespons kebutuhan masyarakat yang plural ini. Bila DPR dan Pemerintah tidak merespons realitas ini maka pola lama akan terus berulang.
Pola lama itu adalah banyak warga negara Indonesia terpaksa ‘memohon’ negara lain untuk mencatatkan KBA yang mereka lakukan.
Respons Gereja Paska Keputusan MK
Saya berbicara dalam konteks ini gereja yang bisa menerima KBA. Bila sebelumnya gereja-gereja ini mengharuskan mereka yang melakukan KBA untuk langsung melakukan catatan sipil setelah ibadah pemberkatan nikah (kawin).
Kini, situasinya sulit untuk dilaksanakan. Pihak catatan sipil akan menolak atau tidak berani lagi melakukan pencatatan sipil tanpa adanya perintah dan penetapan pengadilan negeri.
Lalu apa yang harus dilakukan? Bila gereja-gereja berkomitmen menolong mereka yang KBA maka keharusan untuk langsung melakukan pencatatan sipil setelah ibadah pemberkatan harusnya ditiadakan.
Sebagai pengganti, gereja harus meminta komitmen dan bahkan membantu mereka yang melakukan KBA untuk mendapatkan penetapan pengadilan (negeri). Bantuan total seperti ini akan menolong pasangan KBA untuk menuntut hak azasi mereka sebagai warga negara, sekaligus meraih kebahagiaan mereka lahir dan batin.
Bila gereja menolak membantu, banyak yang akan terjebak dalam praktik ‘kumpul kebo’. Banyak juga yang terpaksa ‘berpura-pura’ pindah agama hanya untuk bisa menikah. Setelah menikah mereka balik lagi ke agama sebelumnya. Kita pasti tidak ingin mereka ‘terpaksa’ melakukan hal buruk dan tidak bermoral ini.
Salam,
Albertus Patty