KDRT

Saya pernah dikecam banyak pihak. Penyebabnya gara-gara saya mendukung niat seorang perempuan yang hendak bercerai dari suaminya. Perempuan ini sudah berkali-kali menjadi korban KDRT. Pernah ia datang dengan tubuh yang lebam. Giginya rontok. Anak-anaknya stress berat menyaksikan ibunya dianiaya berkali-kali.

Mereka yang mengecam keputusan saya menggunakan dalil Kitab Suci “apa yang dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia.” Saya tahu dalil itu! Saya pun setuju dan mendukungnya. Tetapi, dalil itu tidak bisa lagi dipertahankan saat relasi suami- istri sudah berantakan. Dalil tidak dapat dipegang secara buta saat istri sudah dijadikan sebagai sansak yang bisa dipukul atau bola yang bisa ditendang sesukanya.

Mereka yang memegang teguh Firman Tuhan itu mengecam saya. Mereka menuduh saya sesat dan pendosa. Melabel saya ‘liberal‘. Jujur saja, saya hargai upaya mereka untuk taat penuh pada Firman Tuhan di atas. Jadi, saya terima dengan tulus kecaman keras dan pedas itu. Meski demikian saya jadi tahu bahwa sering ketaatan buta pada Firman Tuhan tanpa mempertimbangkan konteks situasi membuat seseorang kehilangan empati dan kemanusiaan. Jadi, kecaman itu tidak mengubah sedikit pun pendirian saya. Mengapa?

Kita semua sering berhadapan dengan realitas dimana kita harus melakukan pilihan yang sulit. Pada satu sisi, sama seperti para pengecam di atas, saya harus menjaga dan menghormati sakralitas lembaga pernikahan. Tetapi, pada sisi lain, saya harus menjaga sakralitas seorang perempuan yang sedang dihancurkan dan ditindas habis-habisan tubuh dan jiwanya.

Ketika diperhadapkan dengan pilihan seperti ini, saya pasti memilih yang kedua. Sakralitas manusia lebih penting daripada sakralitas lembaga pernikahan. Lembaga pernikahan diciptakan untuk kebahagiaan dan kebaikan manusia. Bukan sebaliknya manusia dikorbankan demi keutuhan lembaga pernikahan.

Oleh karena itu, kaum perempuan tidak boleh lagi dibiarkan menjadi korban KDRT yang direndahkan martabatnya. KDRT adalah kriminalitas! Tidak boleh lagi ditutup-tutupi apalagi dibela demi mempertahankan pernikahan.

Saat kita diperhadapkan pada pilihan etis, bukalah telinga pada teriakan dan jeritan yang menderita. Ingatlah ini: pertimbangan kemanusiaan jauh lebih penting daripada segala sesuatu. Hukum dan aturan Kitab Suci dibuat untuk kebaikan manusia, bukan sebaliknya.

Salam,
Albertus Patty

Bagikan

ARTIKEL TERKAIT

Anies Baswedan Bapak Toleransi Beragama?

Pada 16 Oktober 2022, persis di ujung masa kepemimpinannya sebagai Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dianugerahi julukan sebagai “Bapak Toleransi…

Gerakan Relawan?

Ada fenomena menarik jelang Pemilu 2024. Fenomena itu adalah makin besarnya peran relawan seperti Projo, DGP dan lainnya. Ada puluhan…

Sabam Sirait & Spiritualitas Politiknya

Membicarakan sepak terjang Sabam Sirait dalam dunia politik selalu menarik. Apalagi bila dikaitkan dengan bukunya "Politik itu Suci." Konon, gagasan…

Ketaatan Agama Tanpa Logika

Dengan heran saya selalu bertanya: mengapa para teroris tega menabrakkan pesawat berpenumpang ke gedung WTC? Padahal, konon, para teroris yang…