Ketaatan Agama Tanpa Logika
Dengan heran saya selalu bertanya: mengapa para teroris tega menabrakkan pesawat berpenumpang ke gedung WTC? Padahal, konon, para teroris yang masih muda itu anak-anak ‘mamie’ berhati lembut. Mengapa satu keluarga menyediakan diri menjadi pelaku bom bunuh diri di berbagai gereja di Surabaya? Padahal mereka keluarga bahagia yang OK ekonominya.
Sungguh absurd saat membaca berita umat Hindu di India membakar mesjid atau umat Buddha di Burma menghantam tanpa peri kemanusiaan etnik Rohingya yang Islam dan suku Karen yang Kristen.
Bingung saya saat merenungkan bagaimana seorang Timothy Mcveigh, sang fundamentalis kristen itu, meledakkan bom mobil di depan gedung Federal di Oklahoma. Aksi brutalnya membunuh 168 orang dan melukai 600 orang lainnya. Di Los Angeles, ada aksi peledakkan klinik aborsi yang juga memakan korban jiwa. Masih banyak aksi kekerasan dan brutalitas lainnya. Tetapi, apa penyebabnya?
Berbagai aksi kekerasan dan brutalitas lintas agama yang saya sebutkan di atas mempunyai satu kesamaan. Apa? Mereka melakukan aksinya karena diinspirasi oleh agamanya atau lebih tepat diinspirasi oleh penghayatan terhadap agamanya. Memang, yang terpenting dalam beragama bukan lagi apa yang anda percayai, tetapi bagaimana anda mempercayainya. Faktor ‘bagaimana’ itu menentukan buah yang dihasilkan melalui tindakan.
Memang, para pelaku kekerasan itu memiliki iman yang kuat. Sayangnya imannya buta, tanpa tuntunan logika. Menghayati agama minus cinta. Mematuhi ayat-ayat suci tanpa empati. Garang menegakkan aturan agama daripada membangun kemanusiaan. Lebih menghakimi daripada memahami. Lebih memisah dan memilah daripada merangkul. Begitulah jadinya!
Ahli Taurat dan orang Farisi bernafsu menegakkan aturan agama. Perempuan zina harus dilempari batu, sampai mati. Inilah pemberlakuan hukum agama tanpa kemanusiaan. Ketaatan buta tanpa logika dan tanpa cinta. Yesus katakan siapa yang merasa tidak berdosa silahkan melempar batu duluan. Tanpa diduga semuanya pergi. Apa artinya? Artinya mereka sadar pada keberdosaannya. Tak ada yang sempurna!
Jadi, tidak perlu sibuk menghakimi yang lain. Lebih baik belajar mengoreksi diri sambil belajar mempraktekkan agama untuk mempertebal empati, kemanusiaan dan cinta.
Hukum, apalagi hukum agama, sangat penting dan harus ditegakkan. Tetapi hukum apa pun tidak pernah lahir dalam dunia hampa. Selalu ada konteks sosial-politiknya. Dan konteks itu selalu berubah. Ini yang membuat hukum dan aturan itu lentur. Yang lama harus direinterpretasi. Tentu saja tanpa menghilangkan prinsip utamanya yaitu penegakkan keadilan dan kebenaran.
Dan yang terpenting, hukum harus melayani manusia dan kemanusiaannya. Bukan sebaliknya. Jangan pernah dibalik! Bila itu terjadi hukum apa pun, termasuk hukum agama, akan menjadi alat penindasan yang membuat kita kehilangan kemanusiaan. Lalu, agama menjadi drakula mengerikan!
Salam,
Albertus Patty