Mana Peran Kaum Intelektual Kristen?
Cukup banyak buku yang menjelaskan tentang kiprah kaum intelektual Islam di Indonesia. Yudi Latif, misalnya, menulis buku sangat bagus yaitu ‘Intelegensia Muslim dan Kuasa.’ Yudi membahas peran intelegensia Muslim sebagai aktor-aktor kunci dalam kepemimpinan politik dan birokrasi Nasional terutama pada era peralihan kekuasaan dari orde baru ke orde reformasi.
Ironisnya, meski cukup banyak kaum intelegensia Kristen yang terlibat dalam berbagai proses politik di Indonesia, hampir tidak ada tulisan yang membahas tentang kiprah dan peran mereka.
Artinya, kaum intelektual Kristen masih kurang produktif untuk menggali warisan sejarah kaum intelektual Kristen. Padahal kaum muda Kristen perlu belajar banyak tentang peran, baik positif maupun negatif, yang pernah dilakukan oleh generasi pendahulunya agar menjadi inspirasi yang sangat bermanfaat.
Tulisan ini tidak akan membedah definisi intelektual, karena ini persoalan yang cukup sulit. Orang belum sepakat tentang definisi kaum intelektual. Meski demikian, menurut KBBI, intelektual adalah cerdas, berakal, berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan.
Kecerdasan berpikir kaum intelektual yang dituangkan dalam berbagai tulisan memberikan pengaruh besar dalam perubahan masyarakat dan negara. Kaum intelektual menjadi tokoh paling ditakuti.
Tokoh agama pada masa lalu paling merasa terancam oleh tulisan dan pemikiran tokoh intelektual seperti Galileo Galilei, Copernicus, dan sebagainya. Penemuan intelektual mereka berdua ‘memaksa’ kaum agamawan mengubah pandangan mereka terhadap dunia serta mengubah interpretasi mereka terhadap Kitab Suci.
Daniel Dhakidae dalam bukunya ‘Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru’ mengatakan betapa takutnya penjajah Belanda terhadap kecerdasan dan kepandaian Soekarno, Hatta, Syahrir, dan sebagainya, yang modalnya hanyalah bolpen. Bahkan Daniel Dhakidae melanjutkan bahwa Orde Baru pun paling takut terhadap tulisan-tulisan kritis kaum intelektual dan sastrawan.
Pemetaan Menurut Gramsci
Saat berbicara tentang kaum intelektual, orang tidak akan pernah lupa pemikiran Gramsci. Dia menyingkapkan adanya persoalan besar yang dialami oleh kaum intelektual atau kaum intelegensia di mana pun, termasuk kaum intelektual yang tergabung dalam organisasi intelektual keagamaan.
Antonio Gramsci, pemikir Neo-Marxis asal Italia, memaparkan konsepnya tentang kaum intelektual dan peranannya dalam masyarakat. Menurut Gramsci, kaum intelektual terbagi atas 2 kategori, yaitu intelektual tradisional dan intelektual organik. Pembagian dua kategori itu tidak terlepas dari relasi kuasa antara negara dan masyarakat, terutama relasi antara penguasa dan masyarakat yang dikuasai.
Menurut Gramsci, intelektual tradisional adalah mereka yang bertugas sebagai kepanjangan tangan pemerintah untuk mengarahkan masyarakat agar menyepakati ide-ide yang dikehendaki oleh pemerintah. Kaum intelektual ini memberikan pengaruhnya dengan memanfaatkan pengetahuan untuk mendukung kelas penguasa. Tentu saja sepanjang penguasanya OK, peranan kaum intelektual ini akan sangat positif.
Sebaliknya, bila penguasanya penindas maka peranan kaum intelektual adalah menjustifikasi segala tindakan penguasa. Dalam konteks ini peranan kaum intelektual lebih seperti kaum penjilat.
Kaum intelektual ini adalah para dosen atau guru, pimpinan institusi, pejabat-pejabat di lingkungan pemerintahan yang dengan pengetahuannya yang luas dan statusnya turut mendukung penyebaran isu yang dilempar penguasa kepada masyarakat.
Tentu saja fungsi mereka itu bukan sesuatu yang gratis. Ada kepentingan atau motif yang pasti menguntungkan posisinya. Oleh karena itu, kaum intelektual tradisional ini biasanya menempati posisi-posisi strategis dalam pemerintahan.
Kaum intelektual ini diuntungkan oleh agenda penguasa. Jaminan tunjangan gaji, janji kenaikan pangkat, hibah proyek, dan keuntungan-keuntungan materi lain. Oleh karena itu, para intelektual tradisional sering menjadi akademisi yang membeo dan menjustifikasi berbagai kebijakan yang salah dan merugikan rakyat yang dilakukan oleh penguasa yang adalah kaum oligarki yang berkuasa.
Mungkinkah intelektual tradisional ini mampu bersikap kritis terhadap penguasa yang membayar dan memfasilitasi hidupnya? Mungkin saja! Pasti ada! Tetapi jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Kebanyakan terkooptasi oleh penguasa! Mereka sudah berada dalam comfort zone!
Kelompok Intelektual yang kedua, menurut Gramsci, adalah intelektual organik. Mereka dengan sadar mengambil langkah untuk membangkitkan perlawanan terhadap agenda-agenda penguasa. Kaum intelektual ini menggunakan sumber-sumber kekuatan yang dimiliki yaitu ilmu pengetahuan dan basis massa. Mereka berupaya melakukan empowerment, membangkitkan kesadaran masyarakat mengenai masalah-masalah sosial yang dialaminya.
Kelompok intelektual kedua komit pada panggilannya membela kepentingan masyarakat yang sering menjadi korban hegemoni dan dominasi penguasa dan kaum oligarki. Kelompok intelektual ini bukanlah kaum yang suka membeo terhadap penguasa. Tetapi, mereka juga bukan intelektual yang anti terhadap penguasa.
Sikap kritis mereka adalah ekspresi konsistensi dan integritas. Mereka mempertahankan sikap kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang bermasalah, terutama yang mengorbankan kepentingan masyarakat.
Menurut Vedi Hadiz, di Indonesia ini sudah terlalu banyak intelektual tradisional. Dan ironisnya, kita sangat kekurangan intelektual organik. Padahal dari kelompok yang terakhir inilah kita bisa mengharapkan adanya suara kenabian yang berjuang bagi kepentingan kaum voiceless yang sering termarjinalkan.
Oleh karena itu kita membutuhkan tulisan tentang peran intelektual Kristen di Indonesia agar kita bisa memetakan peran apa saja yang pernah dimainkan oleh kaum intelektual Kristen.
Salam,
Albertus Patty
Dimuat di: Selisip.com