Mana yang Bermasalah: Manusia atau Agama?
Sindhunata, dalam pengantarnya pada buku Charless Kimball, Kala Agama Jadi Bencana (2002), mengatakan satu hal menarik. Ia katakan bahwa berbicara mengenai agama itu bagaikan berbicara tentang suatu paradoks. Paradoks yang dimaksud adalah ini. Pada satu pihak agama dialami sebagai jalan dan penjamin keselamatan, cinta dan perdamaian. Di lain pihak, sejarah membuktikan, agama justru menjadi sumber, penyebab, dan alasan bagi kehancuran dan kemalangan umat manusia.
Sindhunata melanjutkan “karena agama, orang bisa saling mencinta. Tetapi atas nama agama pula, orang bisa saling membunuh dan menghancurkan” (Hal. 13).
Semua orang pasti berharap adanya kesadaran baru dan upaya yang serius agar realitas paradoks agama itu bisa dikurangi dan bahkan bisa dihapuskan. Lalu, agama bisa lebih berfungsi untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi kebaikan umat manusia dan dunia.
Sayangnya, nampaknya harapan itu masih jauh dan bahkan makin jauh dari kenyataan. Tragedi kekerasan, penindasan dan bahkan pembunuhan makin sering terjadi atas nama agama.
Efeknya, agama lebih banyak berfungsi sebagai pemecah-belah umat manusia daripada sebagai pemersatu dan pembangun solidaritas. Agama telah membangun dan memperkuat batas-batas imajiner antar manusia dengan sesamanya. Tentu saja ini realitas yang sangat memprihatinkan.
Paradoks Agama
Realitas kekerasan, penindasan dan bahkan pembunuhan atas nama agama bukanlah sesuatu yang baru. Sejak awal dunia ini, agama-agama telah menghiasi dirinya dengan sejarah tragedi dan kekerasan. Semua umat beragama di segala jaman dan di segala tempat telah merasakan pengalaman buruk ini.
Menurut Kitab Suci, kekerasan dan pembunuhan pertama di dunia ini justru dilakukan oleh umat beragama. Kain membunuh Habel, adiknya, setelah keduanya selesai memberikan persembahan kepada Tuhan.
Kain menjadi sangat marah karena, konon, persembahannya tidak diterima oleh Tuhan. Sebaliknya, persembahan Habel justru diterima. Kain kecewa. Merasa diabaikan. Habel menjadi sasaran kemarahannya. Habel pun dibunuhnya.
Secara tidak langsung, motif pembunuhan Kain adalah karena alasan keagamaan. Peristiwa Kain dan Habel seperti sebuah prophetic story yang menjelaskan bahwa konflik, kekerasan dan penindasan atas nama agama sudah terjadi justru sejak manusia berada di muka bumi ini.
Dan peristiwa kekerasan dan pembunuhan atas nama agama itu akan selalu terjadi kapan pun dan dimana pun di seluruh penjuru dunia ini. Semua umat beragama berpotensi menjadi pelakunya.
Celakanya, konflik, kekerasan dan bahkan ketidakadilan dilakukan atas nama agama menjadi semacam sacred violence, kekerasan suci! Kekerasan dan pembunuhan itu dijustifikasi oleh ayat-ayat suci.
Dalam sejarah, sangat banyak kekerasan, persekusi dan pembunuhan yang dilakukan umat beragama terhadap sesamanya, baik yang seagama maupun yang berbeda agama.
Fenomena kekerasan dan pembunuhan atas nama agama inilah yang membuat Christopher Hitchens, dalam bukunya God is not Great, meradang. Lalu ia menuding agama sebagai racun terhadap segala sesuatu. Agama telah menjadi racun bagi peradaban (Hal. 124)
Menelisik sejarah kekerasan, penidasan dan pembunuhan yang dilakukan agama-agama bisa memunculkan rasa pesimisme terhadap peran agama dalam membangun kemanusiaan, keadilan dan perdamaian.
Meskipun demikian, sesungguhnya agama juga bisa memberikan arti dan nilai bagi hidup manusia. Misalnya, dalam sejarah dunia, agama-agama juga telah memberi inspirasi dalam perkembangan kemajuan dan peradaban umat manusia, serta berfungsi sebagai kekuatan pembebas.
Di India, tokoh Hindu, Mahatma Gandhi telah memberi inspirasi dalam perjuangan tanpa kekerasan (non violent movement), terutama saat bangsa India menghadapi kaum kolonialis Inggris.
Di Indonesia, ulama Islam, seperti Abdurrahman Wahid dan Nurcholis Madjid, telah meletakkan dasar bagi hadirnya Islam yang ramah, adil, toleran sekaligus demokratis. Tokoh Kristen seperti Pendeta Basuki Probowinoto, Leimena, Eka Darmaputera dan Th. Sumartana berupaya memberikan kontribusi bagi keadilan, kesetaraan, dan toleransi beragama di Indonesia.
Nelson Mandela dan Desmond Tutu di Afrika Selatan, serta Martin Luther King di Amerika Serikat muncul sebagai tokoh Kristen pembela keadilan dan kesetaraan manusia. Semua agama memiliki tokoh pejuang keadilan, pembebasan dan kesetaraan yang bekerja bagi kemanusiaan, keadilan dan perdamaian.
Adanya realitas paradoks agama ini menunjukkan bahwa sesungguhnya agama itu seperti pisau yang bisa digunakan untuk apa pun. Bisa untuk melakukan kejahatan, bisa juga untuk kebaikan. Pisau bisa digunakan untuk memotong sayuran, bisa juga untuk membunuh sesama.
Artinya, sesungguhnya kejahatan atau kemaslahatan bukan bergantung pada agama, tetapi pada manusianya. Dengan kata lain, manusialah yang menjadi patokan yang menentukan apakah agama itu akan menjadi masalah atau menjadi pembawa solusi.
Paradoks agama ini mengingatkan kita semua untuk memperlakukan agama secara realistis. Dalam beragama yang dibutuhkan bukan hanya ketaatan tetapi juga daya kritis. Bukan sekedar iman yang kuat tetapi juga nalar dan kecerdasan yang hebat.
Dalam beragama kita membutuhkan kesadaran bahwa semakin kita beragama seharusnya kita menjadi semakin manusiawi, bukan malah berprilaku seperti binatang buas.
Harus menjadi anak terang, bukan menjadi manusia garang. Harus lebih ramah bukan semakin marah. Harus lebih menjadi pencinta, bukan penista sesama.
Salam,
Albertus Patty
*dimuat di: selisip.com