Membunuh Bumi, Membunuh Allah!
Kesenjangan ekonomi semakin melebar. “Ini tanda adanya ketidakadilan,” kata Stiglitz dalam The Great Divide (2015). Kesenjangan ekonomi menciptakan ‘kasta’ baru dalam kehidupan. Lapisan sosial diukur dari kekuatan ekonomi. Pola hidup jadi kontras. Banyak orang bergumul mau makan apa atau tinggal dimana? Sebagian kecil menikmati kemewahan bak sorga.
Disparitas ekonomi ini buatan manusia. Hasil kebijakan politik! Ia dirancang oligarki penguasa panggung politik. Tentu saja kebijakannya menguntungkan korporasi mereka.
Efeknya, korporasi mereka menjalar melintasi batas daerah, batas negara, dan batas cakrawala. Semua dieksploitasi. Mereka menjadi ‘tuhan’ di dunia. Dalam dunia yang terbatas mereka hidup dalam mental no limit, tanpa batas.
“Inilah dekade keserakahan,” kata Stiglitz. Kata-katanya bisa dipegang karena datanya akurat. Kita bertanya: mengapa orang serakah? Ada banyak teori tentang itu. Salah satu teori mengatakan begini. Orang menjadi serakah karena Adam Smith menyatakan bahwa manusia adalah aktor bagi kepentingan pasar. Homo economicus!
Prinsip homo economicus adalah ini: peroleh sebanyak-banyaknya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya. Segala sesuatu di dunia ini, manusia, makhluk, tumbuhan dan bumi adalah aset ekonomi. Semua harus dimanfaatkan untuk melipatgandakan kekayaan. Efeknya, para pekerja dan bumi dieksploitasi tuntas.
Celakanya, kita percaya bahwa pertumbuhan ekonomi suatu bangsa akan meningkat bila pengusaha diberi keleluasaan bergerak. Tanpa kontrol negara! Pasar bebas alias free trade menjadi tujuan utama makhluk ekonomi. Yang dikejar adalah pertumbuhan tanpa batas dalam dunia yang terbatas! Ini ilusi yang masih kita percaya meski pertumbuhan hanya dinikmati segelintir manusia.
Homo economicus menciptakan mental materialistik. Mereka seperti mobil tanpa rem. Menabrak sana-sini. Moralitas dan kemanusiaan pun dilabraknya. Ketamakan menciptakan ketidakadilan dan kehancuran ekologis. Simaklah kasus-kasus di berbagai daerah.
Di Sumatera, korporasi dan mafia tanah berkolaborasi merebut tanah rakyat untuk dijadikan pekuburan mewah. Di Sulawesi dibuka tambang emas meski penambangan itu mengancam kesehatan rakyat dan menghancurkan ekologis. Di Kalimantan dan Papua, rakyat disingkirkan dari tanah adatnya.
Fenomena di atas menunjukkan adanya ketimpangan dalam relasi. Ada kerusakan hubungan antara Allah dan manusia, antar sesama, dan antara manusia dengan makhluk lain dan dengan bumi.
Manusia dan alam didgradasi menjadi obyek, aset dan alat produksi. Relasi hegemonik, dominatif dan eksploitatif mewarnai kehidupan. Bagaimana kita menilai fenomena ini? Saya menilainya dari dua segi, yaitu dari sisi regulasi dan teologis.
Dimana fungsi regulasi sehingga korporasi dibiarkan menabrak sana-sini? Kemana para wakil rakyat? Konon, para wakil rakyat telah menggolkan regulasi yang 70% isinya memihak korporasi. Hanya 30% yang memihak rakyat. Artinya, para wakil rakyat sudah meninggalkan rakyat yang memilihnya. Rakyat harus berhadapan sendiri dengan kebuasan korporasi.
Ironisnya, banyak korporasi didukung wakil rakyat dan pemerintah daerah (pemda) setempat. Dalam negara demokrasi, korporasi adalah institusi pengantara yang tugasnya menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat.
Ketika korporasi berubah menjadi ‘drakula’ penghisap darah maka itulah tanda bahwa sistem ekonomi berjalan tanpa moralitas. Saat yang sama demokrasi pun mengalami kelumpuhan.
Lalu, apakah kita harus mengubah sistem ekonomi dan demokrasi kita? Tidak perlu! Karena sistem politik dan ekonomi apa pun akan hancur ketika dilakukan tanpa nilai moralitas yaitu keadilan, cinta dan kemanusiaan.
Jadi, yang terpenting mengembalikan spirit keadilan dan kemanusiaan di dalam system politik dan ekonomi yang ada melalui kebijakan hukum yang menjadi sistem kontrol.
Refleksi
Apa yang teologi katakan tentang ini? Ada dua. Pertama, tentang ketamakan. Dalam Kitab Suci, ketamakan adalah plonexia yaitu mengingini sesuatu yang bukan miliknya. Ini mudarat. Yesus bilang, “Berjaga-jagalah terhadap segala ketamakan sebab walaupun seorang berlimpah-limpah artanya hidupnya tidaklah bergantung pada hartanya itu (Luk. 12:15).”
Hal kedua, saya ingat ucapan Michael Novak. Menurutnya, ketika manusia, segala makhluk dan bumi dibunuh dan dihancurkan, sesungguhnya kita menghancurkan karya Allah sekaligus membunuh Allah. Novak lanjutkan. Bumi dan isinya adalah panggung pekerjaan Allah. Tanpa bumi, Allah tidak menjadi manusia. Dengan menghancurkan bumi, manusia dan segala makhluk, Allah tidak lagi bisa berkarya.
Artinya, kita membunuh Allah. Saat manusia tidak berakar kuat pada bumi, sungai, lautan, gunung dan hutan, manusia kehilangan koneksi dengan bumi. Tidak menjadi bagian dari bumi. Diskomunikasi dengan bumi dan segenap isinya berarti juga diskomunikassi dengan Allah, Sang Pencipta.
Menyimak fenomena di atas, masihkah kita memiliki harapan? Masih! Hanya melihat eksploitasi bumi dan alam raya ini, manusia hanya punya sedikit waktu untuk memperbaikinya. Bila terlambat, kita semua mati sia-sia. Dimana harapan itu kita sandarkan? Ada banyak! Salah satunya pada institusi agama-agama, termasuk gereja.
Kita percaya bahwa institusi agama memiliki hati nurani meski kita tahu banyak dari mereka yang tidak punya nyali alias keberanian. Punya hati nurani tanpa keberanian seperti mobil mogok. Punya keberanian tanpa hati nurani akan berjalan tanpa arah. Kita butuh keduanya! Bila agama tidak memiliki keduanya, moga kita masih punya!
Salam,
Albertus Patty