Menawar Pdt. Albertus Patty Menjadi Ketua Umum PGI

Dalam sejumlah tulisan, paparan ceramah, maupun wawancara, Pdt. Albertus Patty cukup sering mengangkat idenya terkait peran dan apa yang mesti dikerjakan oleh gereja-gereja di Indonesia.

Secara khusus, ia juga menyoroti Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) yang sangat potensial untuk mendorong hal tersebut. Bagi Pdt. Patty, PGI sudah pada tempatnya untuk menguatkan gereja dan umat Kristiani di tiap daerah lewat jejaring dan kerja nyata. PGI tidak boleh hanya sekedar mengikuti rutinitas organisasi atau baru berseru kalau ada masalah.

Persekutuan gereja ini perlu terlibat lebih jauh, melampaui kerja di meja rapat atau mimbar kata sambutannya.

Pemberdayaan Gereja
Sisi pertama yang perlu dibenahi adalah pemberdayaan ekonomi umat, penguatan SDM Kristiani, serta peningkatan kapasitas pemimpin gereja di tiap daerah. Ini merupakan kebutuhan yang sangat mendesak. Agar kesenjangan sosial bisa ditengahi, sehingga gereja di tiap daerah pun berdaya untuk berkarya dan bersuara bagi kepentingan masyarakat.

“Di daerah cukup banyak pendeta digaji Rp 70-80 ribu per bulan. Ada kantor sinode yang kondisinya kurang layak. PGI selama ini selalu meminta iuran. Tapi alangkah lebih baik, kita juga berpikir agar mereka memiliki kehidupan yang layak. Bagaimana mereka bisa bicara soal peran di tengah umat dan masyarakat jika hal ini masih menjadi pergumulan tiap hari,” ungkap Pdt. Patty dalam satu wawancara.

Pemberdayaan sumber manusia bagi warga Kristiani juga merupakan hal mendesak, terutama kaum mudanya. “Di berbagai bidang kita sangat kekurangan SDM. Sekedar untuk posisi di berbagai lembaga negara dan masyarakat terasa sekali gereja tidak pernah menyiapkan orang. Ini kebutuhan yang sudah tak bisa ditawar lagi,” lanjutnya.

Dalam mengupayakan penguatan ini, menurut Pdt. Patty, PGI sudah tidak boleh lagi sekedar menampil untuk membangun kekuatan citra lembaga semata. Justru peran PGIW serta gereja lokal yang perlu sekali dikuatkan.

“Bila ada kasus di daerah soal keberadaan gereja, misalnya, PGI jangan ambil semua panggung untuk bersuara. Jauh lebih strategis jika pemimpin gereja lokal dibantu dan diperlengkapi untuk mengadvokasinya,” ia mencontohkan.

Apakah PGI memang mampu mengupayakan penguatan seperti ini? Bagi pendeta berdarah Ambon ini, dengan jejaring dan potensi yang ada di tiap anggota PGI, hal itu jauh lebih mungkin. Kuncinya adalah kolaborasi serta pemimpin yang melihat visi ini.

Berperan bagi Bangsa
Sisi kedua yang juga penting adalah PGI memberi teladan bagaimana gereja bisa dengan strategis memiliki peran bagi bangsa. Berbeda tantangan dengan masa sebelum reformasi, PGI tidak boleh sekedar menjaga jarak dengan pemerintah dengan melulu berseru-seru dari luar. Justru sangat mungkin menjadi mitra sekaligus tetap bersikap kritis pada kekuasaan, sembari terus mendorong agar umat Kristiani terlibat aktif di kehidupan sosial politik bangsanya.

“Kita bahkan bisa mengupayakan agar pemerintah jadi mitra untuk pemberdayaan masyarakat dan penguatan SDM tadi di kantung-kantung masyarakat Kristen misalnya,” paparnya.

Peran seperti ini kian genting apalagi di tengah politisasi agama yang rawan menimbulkan perpecahan seperti terjadi belakangan ini. Gereja semakin dituntut untuk menyangkali dirinya. Melampaui rasa nyaman dan ketakutan, sehingga mau terlibat dengan komitmen penuh untuk membela Pancasila, serta tahu persis permasalahan yang terjadi di sekitar.

“Kita harus terus menumbuhkan kesadaran untuk terlibat dalam pergumulan masyarakat. Tidak sibuk dengan urusan sendiri. Bahas gedung, lonceng atau sekedar jatah APBD buat gereja, atau hanya mengawang-awang dalam spiritualitas yang hanya memikirkan sorga,” kritiknya.

Kapasitas Pdt. Patty
Dua ide besar itu harus diakui memang permasalahan pelik yang dihadapi gereja Indonesia. Lantas, apakah Pdt. Patty punya kemampuan mengeksekusinya, saat ia katakanlah, memimpin PGI?

Secara pengalaman sebenarnya Pdt. Patty cukup mumpuni. Dari sisi akademis ia memang punya spesialisasi soal permasalahan sosial dan dialog lintas iman. Nyata pula dalam kiprahnya di berbagai forum lintas agama dan kepemimpinan nasional. Publik pun sudah cukup mengenalnya sebagai representasi pemuka Protestan. Pendapatnya yang orisinil juga sering dijadikan rujukan media dan kelompok masyarakat.

Ia tidak hanya wah dari tampilan akademis dan organisasi, pendeta GKI ini turut hidup dalam pergumulan gereja lokal. Ia lama dalam penggembalaan jemaat. Ini mungkin yang membedakannya dengan para pemimpin yang kebanyakan hanya aktif di organisasi. Pdt. Patty cukup peka untuk turut merasakan atmosfer hati warga jemaat dan pendeta. Seruan serta pandangannya, meskipun kritis dan tajam, tidak melupakan sentuhan pastoral itu.

Namun, sayangnya Pdt. Patty bukan orang yang harus ngotot menonjolkan diri. Ini mungkin yang agak sulit dalam ‘memasarkan’ ia untuk bertarung rebut-rebutan kursi. Pdt. Patty sadar ide-ide itu tak mungkin mewujud sekedar hanya bertumpu pada pribadinya. Bahkan ia justru senang jika idenya itu dicopy-paste lalu dikembangkan orang lain, meski ia tidak diberi kredit atas itu. Di sini dia memang masih terlalu ‘pendeta’.

Salam,
Basar Daniel

Bagikan

ARTIKEL TERKAIT

Sekum GKI: Pdt Albertus Patty Adalah Kader Terbaik GKI

Majunya Pdt. Albertus Patty sebagai calon ketua umum PGI periode 2019-2024 mendapatkan dukungan penuh dari sinode tempatnya bernaung yaitu Gereja…