Mengapa Saat Wabah Covid-19 Kebaktian Penyembuhan Ilahi Ditiadakan?
Covid-19 meletupkan friksi tajam di antara beberapa rohaniawan Kristen tentang bagaimana meresponnya secara teologis. Friksi ini menarik karena ia mewakili aliran teologis masing-masing. Pasti sulit diperdamaikan! Orang pun bertanya dimana posisi teologis para rohaniawan itu dan dimana posisi teologis kami.
Tulisan singkat ini memetakan secara umum posisi teologis yang ada. Anda bisa menilai sendiri kira-kira pada posisi mana Anda berdiri. Ada tiga posisi teologis dalam friksi yang terjadi:
Pertama, kelompok Kharismatik yang sangat mengandalkan berbagai karya Ilahi berupa mujizat, suatu kejadian luar biasa, yang membuat orang merasa ‘wouw’ terperangah karena tidak masuk akal.
Itulah sebabnya berbagai kejadian ‘wouw’ yang di luar rasionalitas banyak diceritakan untuk membangun iman dan rasa takjub umat. Merinding! Misalnya cerita perjumpaan atau obrolan langsung Pendeta dengan Tuhan, kunjungan berkali-kali rohaniawan ke Sorga, penyembuhan penyakit, dan sebagainya.
Bagi kelompok ini penyakit apa pun, termasuk Covid-19, bahkan persoalan apa pun, termasuk persoalan ekonomi dan politik, diatasi melalui mujizat Ilahi. Persoalan atau penyakit dipercaya berasal dari dosa atau sebagai bentuk hukuman Tuhan bagi pendosa. Mujizat penyembuhan Ilahi ditujukan untuk mengusir dosa yang mewujud melalui penyakit dan persoalan apa pun.
Dalam soal sakit-penyakit, kelompok ini mempertentangkan iman dan rasionalitas atau ilmu pengetahuan. Jadi, dokter, paramedis atau obat-obatan tidak dibutuhkan karena termasuk produk rasio dari dunia yang berdosa. Sesat! Akibatnya umat yang sakit menolak obat-obatan dan perawatan dokter. Umat cukup bersandar dan menantikan kuasa Ilahi melalui mujizat Ilahi yang luar biasa yang melampaui akal manusia.
Secara kasat mata, kelompok ini terbagi dua. Pertama, mujizat penyembuhan Ilahi cukup dilakukan dengan teriakan atau hardikan pengusiran setan. Tidak membutuhkan benda apa pun lagi. Kelompok kedua, sebaliknya, menggunakan media lain. Misalnya minyak urapan, air suci, dan sebagainya.
Kelompok ini percaya bahwa mujizat ilahi ini bisa langsung dirasakan dan disaksikan umat atau siapa pun yang sakit, yang secara sosial-ekonomi-politik terpuruk, atau membutuhkan mujizat Ilahi.
Kedua, bertentangan total dengan kelompok kharismatik adalah kelompok ‘sekuler.’ Kelompok ini mengandalkan pendekatan ilmiah dan rasional. Tuhan tidak dilibatkan dalam persoalan dan masalah yang dihadapi manusia, termasuk persoalan Covid-19.
Bagi kelompok ini, penyakit adalah persoalan biologis biasa. Semua manusia pasti mengalaminya. Kelompok ini percaya, penyakit atau persoalan apa pun tidak ada hubungannya dengan setan atau kuasa kegelapan apa pun.
Penyakit harus dihadapi secara rasional dengan memanfaatkan perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran atau obat-obatan. Persoalan atau keterpurukan sosial, ekonomi atau politik harus dihadapi dengan kerja serius yang keras.
Kelompok ini yakin bahwa manusia yang matang adalah mereka yang mengatasi persoalan dengan kapasitasnya sendiri. Bukan dengan cara kekanak-kanakan yang sedikit-sedikit mengandalkan kuasa di ‘atas’ sana. Itulah sebabnya, kelompok ini ‘mengimani’ dokter, paramedis, proses pengobatan yang diberikan.
Kelompok ini percaya bahwa upaya penyembuhan penyakit yang tidak menggunakan pendekatan rasional dan ilmiah melalui ilmu kedokteran dan farmasi adalah suatu kemustahilan.
Ketiga, kelompok moderat! Kelompok ini terutama dari tradisi reformasi, dari gereja Calvinistik yang menekankan umat untuk memiliki iman yang kuat sekaligus daya kritis dan rasionalitas yang kokoh. Iman maupun rasionalitas tidak dipertentangkan. Keduanya diterima sebagai bagian dari anugerah Ilahi.
Kaum moderat sangat berhati-hati dan kritis terhadap klaim ‘mujizat.’ Misalnya, bahasa Roh! Tidak ada norma atau ukuran apakah seseorang sungguh berbahasa Roh atau berbahasa ‘ngacau.’ Ini membuat kelompok moderat cenderung menghindarinya. Itulah sebabnya penggunaan bahasa-bahasa ‘roh’ dalam ibadah di gereja kaum moderat tidak diijinkan. Sulit membenarkan, tetapi sukar menyalahkan!
Kaum moderat menerima ilmu pengetahuan, ilmu kedokteran dan obat-obatan sebagai anugerah Tuhan. Penyembuhan orang sakit melalui pelayanan para dokter adalah juga mujizat Tuhan. Jadi, bisa diterima tanpa merasa adanya erosi iman.
Dalam soal penyembuhan Ilahi yang dilakukan para rohaniawan yang mengadakan mujizat ‘woouw,’ kaum moderat tidak serta merta menolaknya. Allah pun bisa bekerja dengan cara seperti itu. Meskipun demikian, kaum moderat dengan tradisi kritis-rasional selalu bersikap ekstra hati-hati.
Itulah sebabnya, mereka akan bertanya: mengapa saat wabah Covid-19 Kebaktian Penyembuhan Ilahi ditiadakan? Apakah Mujizat penyembuhan Ilahi tidak ‘tokcer’ menghadapi Covid-19?
Pertanyaan-pertanyaan itu bukan muncul dari orang yang tidak beriman, tetapi dari mereka yang kritis terhadap potensi penyalahgunaan ibadah penyembuhan atau klaim ‘mujizat.’ Ibadah-ibadah ‘penyembuhan Ilahi’ sangat memikat.
Tekanan pada emosionalitas membuat umat bisa ‘merinding’ karena itu mudah menarik minat puluhan ribu orang. Ibadah seperti ini berpotensi bukan untuk melayani umat, tetapi untuk mencari popularitas dan, terutama, untuk memperkaya diri.
Umat dari tradisi moderat yang kritis selalu bertanya: bagaimana mungkin Yesus, yang sederhana dan miskin, selalu disebut namaNya oleh para rohaniawan ‘kesembuhan Ilahi’ yang bergelimang harta benda, jauh melebihi kekayaan para dokter profesional? Ini pertanyaan-pertanyaan yang selalu muncul!
Catatan:
Tulisan singkat ini hanya memetakan secara sederhana perbedaan-perbedaan tradisi dan teologi yang ada di Indonesia. Ia tidak ditujukan untuk menghakimi atau membenarkan kelompok mana pun. Pada akhirnya, semuanya bergantung pada iman, daya kritis, kecerdasan umat, plus tuntunan Ilahi!
Selamat Merayakan Paskah 2020!
Salam,
Albertus Patty