Mengenang Pdt. Dr. SAE Nababan
Pada 8 Mei 2021, Allah memanggil pulang seorang hambaNya yaitu Pdt. Dr. SAE. Nababan. Kepergiannya adalah kehilangan yang luar biasa bagi gereja-gereja di Indonesia dan bagi bangsa. Meski Pdt. Dr. SAE Nababan sudah pergi, warisan yang ditinggalkannya sangat berharga untuk kita lanjutkan. Untuk itu kita perlu elaborasi sedikit tentang figur SAE Nababan.
Pdt. Dr. SAE Nababan adalah salah satu tokoh yang memiliki pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan bergereja di Indonesia. Jabatannya banyak dan dimana-mana. Beliau berkiprah di HKBP, di lingkungan gereja di aras nasional dan di aras internasional.
Beliau pernah menjadi Ephorus HKBP, pernah menjadi Sekum dan juga Ketum DGI (sekarang PGI), pernah berkiprah di gereja Asia (CCA), di LWF (lembaga Lutheran internasional) dan bahkan pernah menjadi Presiden Dewan Gereja Dunia (WCC). Saya yakin, belum ada seorang pun tokoh gereja di Indonesia yang memiliki begitu banyak jabatan seperti yang dimiliki SAE Nababan.
Ada banyak hal yang bisa dibahas tentang Pdt. DR. Nababan. Misalnya perhatiannya pada kemajuan kaum muda, soal kepemimpinan, soal disiplin dan ketepatan waktunya, sikapnya terhadap hubungan gereja dan negara, upayanya membangun relasi antar umat beragama, relasinya dengan berbagai tokoh-tokoh nasional, dan sebagainya. Tetapi, tulisan pendek ini hanya fokus pada gagasannya tentang teologi keseimbangan.
Teologi Keseimbangan
Sejauh yang saya ketahui Pdt. Dr. SAE Nababan belum secara sistematis menuliskan gagasannya tentang teologi keseimbangan. Oleh karena itu, kita perlu mendiskusikan apa yang dimaksudkannya dengan teologi keseimbangan. Tulisan ini hanya refleksi sekaligus interpretasi sederhana saya terhadap gagasan SAE Nababan.
Menurut saya ada beberapa catatan penting yang perlu digarisbawahi dalam gagasannya tentang teologi keseimbangan.
Pertama, teologi keseimbangan ini menunjukkan bahwa fokus SAE Nababan bukan lagi teologi yang bersifat personal. Bukan juga teologi eskapis yang terlalu fokus pada dunia seberang sana. Melalui gagasan teologi keseimbangan ini, SAE Nababan justru mengajak gereja-gereja untuk memfokuskan diri pada persoalan dan tantangan sosial yang dihadapi oleh masyarakat dan bangsa.
Hanya teologi seperti inilah yang membuat kehadiran gereja-gereja di Indonesia menjadi lebih relevan bagi masyarakat Indonesia.
Kedua, gagasannya terhadap teologi keseimbangan itu berguna untuk mengeritisi segala bentuk ketidakseimbangan dalam relasi antar manusia. Ketidakseimbangan ini menciptakan penyakit sosial yaitu relasi yang timpang yang bersifat hegemonic dan dominative.
Dalam relasi seperti itu selalu terjadi eksploitasi dan ketidakadilan dari seseorang atau sekelompok orang terhadap sesama manusia, dan bahkan terhadap alam raya.
Hegemoni dan dominasi ini bisa dilakukan siapa saja dan terhadap siapa saja. Ia bisa dilakukan oleh negara, oleh kapitalisme lokal dan global, oleh umat beragama, dan bahkan oleh gereja sendiri.
Relasi hegemonik dan dominatif ini biasa disebut dengan mentalitas ‘empire,’ suatu mentalitas ingin menguasai dan mengontrol apa pun dan siapa pun. Ketika mentalitas empire ini dibatinkan, gereja mengalami pembusukan dari dalam karena yang dicari dan dikejar oleh gereja hanyalah kekuasaan.
Ketiga, gagasan teologi keseimbangan ini menunjukkan bahwa ada tugas dan tanggungjawab penting yang harus diperjuangkan oleh gereja yaitu keseimbangan. Keseimbangan tidak akan pernah terwujud tanpa adanya penghargaan dan pengakuan terhadap kesetaraan manusia.
Gereja harus berjuang agar setiap orang apa pun gereja, agama, gender dan status sosialnya bisa merasakan kesetaraan. Gereja harus berjuang ‘bersama’ siapa pun yang tertindas dan yang mengalami ketidakadilan demi pembebasan bagi penindas maupun yang tertindas. Penindas dibebaskan dari kecenderungannya menindas. Yang ditindas dibebaskan dari belenggu penindasan.
Keempat, tujuan utama dari gagasan teologi keseimbangan adalah melawan kecenderungan manusia yang menerapkan lingkungan survival of the fittest, yang kuat yang akan survive. Tujuan utama gereja seperti yang dinyatakan oleh Yesus Kristus adalah survival of the weakest, yang paling lemah akan survive.
Survival of the fittest adalah relasi yang eksploitatif dan hegemonik. Perjuangan demi terwujudnya survival of the weakest adalah perjuangan gereja untuk melayani mereka yang paling lemah dan paling tidak beruntung.
Gereja tidak boleh menghayati mentalitas penguasa. Tidak juga boleh membebek dan tunduk terhadap penguasa yang menindas. Gereja harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia.
Gereja harus menolak mentalitas empire yang ingin menguasai dan mendominasi sesama dan alam raya ini. Sebaliknya, gereja harus menjadi pelayan dan pembela terhadap siapa pun yang mengalami marjinalisasi.
Di tengah bangsa Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika ini, gereja harus berjuang agar tercipta relasi yang saling menghargai, yang adil dan setara. Gagasan teologi keseimbangan mengingatkan kembali gereja pada panggilannya untuk menjadi pelayan-pelayan yang menyelamatkan umat manusia dan bumi ini.
Selamat jalan Pdt. Dr. SAE Nababan. Terima kasih atas berbagai gagasan dan keteladanan yang telah diwariskan kepada kami semua. Sampai berjumpa di rumah Bapa di Sorga.
Salam,
Albertus Patty