Boleh Saja Menjadi Kristen, Tetapi…..!
Ini kisah tentang Will Herberg, seorang Yahudi ateis yang terkenal. Nenek moyangnya tinggal lama di Rusia, tetapi orang tuanya memilih untuk pindah ke New York, Amerika Serikat. Herberg lahir pada 30 June 1901, dan meninggal pada 26 Maret 1977.
Ia seorang penulis, pemikir dan intelektual yang hebat Ia menulis tentang filsafat, teologi dan juga tentang sosiologi agama. Ia banyak menulis opini dan buku. Misalnya buku ‘The Christian Mythology of Socialism.’ Dalam buku itu ia menyatakan bahwa pada dasarnya sosialisme dan komunisme merupakan pembahasan perspektif Alkitab tentang sejarah yang disekularisasikan.
Buku lain karangannya yang terkenal adalah ‘Protestant, Catholic, Jew.’ Dalam buku ini ia berceloteh tentang budaya Protestantisme yang telah meresapi seluk-beluk kehidupan bangsa Amerika sehingga agama mana pun yang berada di Amerika Serikat pasti terimbas budaya Protestantisme.
Will Herberg percaya bahwa pada dasarnya manusia itu makhluk yang menyejarah. Oleh karena itu pikiran, aksi dan prestasi manusia, baik personal maupun kolektif, hanya dapat dipahami dengan mempertimbangkan secara serius latar belakang sejarahnya. Waktu, tempat dan situasi yang dihadapi manusia pasti sangat mempengaruhi pikiran, tindakan dan keputusan manusia.
Meski atheis, ia mengeritik keras kaum komunis Stalin yang menurutnya menerapkan struktur monolitik dengan ortodoksi politik yang menerapkan dominasi interpretasi terhadap seluruh kehidupan. Pergulatannya dengan Stalinisme inilah yang menempatkan dia sebagai pengeritik keras segala bentuk totalitarianisme.
Kekecewaannya pada komunisme versi Stalin menempatkan dia pada pergumulan teologis yang dahsyat. Ia memutuskan untuk mempelajari Kitab Suci melalui seorang teolog Yahudi terkenal yaitu Franz Rosenzweig.
Di bawah bimbingan Rosenzweig inilah Herberg mulai memperoleh penerangan baru tentang Yudaisme dan Kekristenan. Herberg menyimpulkan bahwa Yudaisme dan Kekristenan adalah dua entitas yang saling melengkapi yang sama-sama berada dalam rencana Allah yang besar bagi dunia.
Pergumulan teologis Herberg tidak berhenti di situ. Ia bergumul teologi apa yang sesungguhnya dibutuhkan oleh manusia pada masanya. Manusia yang pada saat itu sedang mabuk kepayang oleh ilusi karena janji manis kemajuan yang dibawa kaum liberalis dan para saintis modern.
Pada saat itulah ia berjumpa dengan Reinhold Niebuhr. Analisa realistik Niebuhr tentang situasi manusia sangat memikatnya. Buku Niebuhr, ‘Moral Man and Immoral Society’ sangat mempengaruhinya. Dalam buku ini, Niebuhr mempertanyakan semua institusi manusia yang diklaim sebagai final atau the best, meski sebenarnya sarat dengan segala kepentingan dan egoisme.
Ironisnya, institusi seperti ini tetap berani menawarkan ilusi dan mimpi yang memabukkan padahal di dalamnya terdapat cacat bawaan yang berpotensi untuk mendiskriminasi yang lain. Inti buku ini bertolak dari gagasan Neibuhr tentang manusia sebagai makhluk yang ambigu alias mendua!
Herberg mengatakan perjumpaannya dengan Niebuhr telah mengubah total segala pemikiran dan teologinya. Ia mengalami pertobatan dan sekaligus penerangan. Mereka sering berdialog dan saling bertukar gagasan.
Dan, Herberg sangat memuja Niebuhr dengan segala pemikirannya. Memang pemikiran politik Niebuhr sangat mempengaruhi budaya politik Amerika Serikat, bahkan sampai saat ini. Presiden Obama pun salah seorang pembaca setia karya Neibuhr.
Suatu saat, Herberg mengunjungi Niebuhr dan menyatakan niatnya memeluk agama Kristen. Reaksi Niebuhr sangat menarik. Niebuhr menyatakan kepadanya: “Boleh saja menjadi Kristen, tetapi kamu harus lebih dulu menjadi Yahudi yang baik.” Dengan kata lain, Niebuhr tidak mendukung niatnya. Herberg kecewa!
Di Amerika Serikat perpindahan agama sesuatu yang biasa saja. Itu hak pribadi! Tidak ada yang mempermasalahkannya. Sebaliknya, perpindahan agama di Indonesia selalu heboh. Beritanya akan memenuhi berbagai media massa. Orang doyan mempermasalahkannya. Ada keusilan mencampuri hak pribadi orang lain.
Tetapi, karena kehebohannya, yang pindah agama bisa memanipulasinya demi popularitas yang nantinya bisa digunakan untuk apa pun, baik dan buruk. Soal pindah agama ini, Niebuhr punya pandangan kritis.
Penolakannya pada niat Herberg berisi pesan penting: “Tidak ada gunanya menambah umat bila kualitas moral orang yang berpindah agama itu ternyata sangat buruk!” Bagi Niebuhr, kualitas umat lebih penting daripada kuantitasnya! Sesungguhnya, inilah yang lebih dibutuhkan agama-agama dalam dunia yang sedang krisis pada masa kini.
Seperti pesepakbola yang ingin pindah klub. Klub barunya harus memilih dan memilah pemain mana yang akan direkrut, mana yang baik dan yang akan berkontribusi bagi klub barunya.
Pesepakbola yang jelek, apalagi yang mentalnya buruk, akan langsung ditolak karena dia akan merugikan tim sepakbola barunya. Dan tentu saja merugikan penonton yang sudah membeli karcis masuk stadion.
Ah…, kita semua sedang ditonton!
Salam,
Albertus Patty