Metanoia Sosial-Politik
Isu penundaan Pemilu atau masa jabatan presiden 3 kali memperhadapkan bangsa kita pada dua pilihan penting. Apa?
Kita harus memilih antara bersandar pada presiden yang kuat atau pada konstitusi yang kuat. Tentu saja kita butuh keduanya. Presiden yang kuat sekaligus Konstitusi yang kuat.
Persoalannya isu perpanjangan Pemilu atau isu presiden 3 perode itu, kalau disetujui, mengharuskan kita mengutak-atik konstitusi.
Memang, konstitusi bisa saja diubah. Toh ia bukan barang yang sakral. Tetapi, bila ia terlalu mudah diubah atau diamandemen demi menyesuaikan diri pada tokoh atau pribadi tertentu, kita terjebak pada idolatri personal. Artinya, kita jatuh kembali pada pola Orde Baru dan Orde Lama yang sudah kita buang ke tempat sampah.
Sejarah bangsa ini menunjukkan bahwa kita pernah punya presiden yang kuat dan bahkan terlalu kuat. Lalu kita semua merasakan pahitnya kekuasaan yang sering bablas.
Saat itu, bangsa kita seperti sedang berada di dalam mobil yang berjalan cepat tanpa rem. Kita semua hampir hancur berantakan.
Gerakan Reformasi adalah suatu aksi metanoia alias pertobatan sosial-politik. Tiba-tiba kita menjadi realistis bahwa kita tidak bisa menyandarkan nasib dan masa depan bangsa pada tokoh atau pribadi tertentu. Sejarah bangsa kita mengatakan lebih banyak mudaratnya
Gerakan Reformasi adalah kembalinya politik yang membumi. Realisme Politik! Gerakan ini ditandai dengan mengembalikan politik Indonesia pada jalur yang tepat, yaitu memperkuat konstitusi.
Memang, kita butuh presiden yang kuat agar mampu melaksanakan program-programnya dengan baik. Tetapi kita butuh konstitusi yang sangat kuat untuk mencegah agar kekuasaan presiden tidak kebablasan.
Konstitusi itu ibarat kamera CC TV dan Satpam di Mall. Kita percaya bahwa para pelanggan mall itu orang yang baik, tetapi adanya CC TV dan Satpam menunjukkan bahwa kita juga realistis bahwa pelanggan mall itu punya potensi tidak baik. Oleh karena itu harus selalu diawasi atau dikontrol.
Jadi, melemahkan konstitusi demi pribadi seseorang, sebaik apa pun dia, bukan saja tidak realistis tetapi juga mengkhianati spirit gerakan Reformasi.
Salam,
Albertus Patty