Pdt Patty: Gereja Belum Lahir Baru

Aduh lihat sejumlah praktik SARA di kampanye Pilkada belakangan ini, bikin saya sakit perut.
“Ah, itu Pak Pendeta aja yang sensi.”

Pdt. Albertus Patty mencontohkan beberapa obrolan saat ia mendiskusikan kegundahannya bersama sejumlah pendeta, pengerja dan warga jemaat GKI. Bagi pendeta di GKI Maulana Yusuf ini, hal seperti tadi sebenarnya menjadi evaluasi yang menarik.

Saya kira saya bukan orang yang mudah khawatir. Saya selalu berpengharapan loh,” ujarnya sambil tersenyum saat dijumpai SELISIP beberapa waktu lalu.

Lewat contoh itu, ia menggarisbawahi adanya persoalan besar terkait keengganan gereja menggeluti persoalan sosial-politik di masyarakat tempatnya hidup. Lebih jauh lagi, terkait betapa senjangnya antara hal yang menjadi harapan, perhatian dan pembicaraan di gereja dengan hal-hal yang terjadi di sekitarnya.

Kalau boleh dibilang kita sebenarnya masih memegang kekristenan dengan tradisi pinjaman. Belum benar-benar lahir dari rahim keindonesiaan. Sehingga menjadi hal yang asing bagi banyak orang. Mimbar dan kegiatan kita kebanyakan bicara soal konsep teologi yang asing, atau kesalehan personal dan keluarga kecil. Boleh dibilang teologi kita, ya belum lahir baru, dalam arti belum lahir dari pergumulan Indonesia,” lanjut Pdt. Patty.

Dikenal selama ini sebagai salah satu pendeta yang sering menyuarakan agar gereja melek isu sosial-politik, permasalahan kebangsaan dan mendukung keberagaman, pria yang pernah menjabat sebagai salah satu ketua BPMS GKI (2004-2016) ini, memang melihat ada tantangan besar di struktur pembinaan gereja.

Menurut Pdt. Patty, sekolah teologi dan pembinaan gereja memang sudah mulai menyuarakan agar jemaatnya terlibat dalam persoalan masyarakat dari mimbarnya. Beberapa kali juga terlibat mempersiapkan generasi muda untuk berkarya di masyarakat. Namun struktur pelayanan dan pembinaan belum siap untuk mendorong orang berkarya lebih di luar pelayanan gerejawi.

Yang ada malah memberikan kesibukan pelayanan gerejawi pada mereka. Konstruksinya hanya untuk menjadi pelayan di dalam gereja saja. Tidak ada rekayasa sosial yang strategis agar gereja mendorong kiprah mereka di luar. Padahal di titik tertentu mereka harusnya sudah bisa lebih banyak berkarya sekaligus belajar di luar pelayanan gereja,” kritiknya sembari merefleksikan apa yang ia alami.

Saat mulai aktif di isu lintas iman, saya sadar betul, saya tidak akan berkembang kalau hanya sibuk di gereja saja. Saya menyengajakan diri untuk terlibat. Sekaligus bercermin. Ternyata banyak hal yang harus saya tambah untuk kapasitas dan pembelajaran, begitu saya melihat kepiawaian rekan-rekan Muslim dalam membahas satu isu, misalnya,” kenang Pdt. Patty.

Keterlibatan alumnus program doktoral Pittsburgh Theological Seminary ini di isu lintas agama memang sudah kian terasa sejak ia kembali dari studinya. Di Bandung, Pdt. Patty turut aktif di Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (JAKATARUB) dan merupakan salah satu deklarator di Forum Lintas Agama Deklarasi Sancang (FLADS). Sementara dalam tataran nasional, ia seringkali diajak urun-rembuk terkait persoalan lintas agama di Indonesia. Hal-hal yang memacunya untuk lebih banyak belajar agar bisa mengimbangi beragam persoalan yang kerap digumulkan.

Bicara soal permasalahan kebangsaan, Ketua IV MPH Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) ini kembali mengingatkan ada tantangan yang cukup besar. Menguatnya instrumentalisasi agama sebagai alat untuk praktik politik sektarian adalah gejala yang mendunia, yang juga dialami Indonesia.

Negara kita ada di persimpangan sejumlah pilihan. Antara bertumbuh menjadi masyarakat yang demokratis dan maju, kembali ke masa totaliter, perlahan berubah negara berbasis satu agama dan membuat minoritas menjadi kelas dua, atau malah mengalami perpecahan,” ujarnya memetakan. Sejumlah kemungkinan itu memang cukup terasa, menurutnya disinilah peran gereja untuk lahir baru dan menyangkal diri bagi Indonesia kian ditantang.

Saya masih percaya banyak orang baik dari berbagai latar agama dan etnis yang mau bahu-membahu membangun bangsa ini untuk kepentingan bersama. Disini gereja perlu juga bertobat, jangan mengira hanya dirinya yang bisa dipakai untuk mengerjakan kebaikan bagi bangsa ini. Saatnya bersinergi,” harapnya.

Harapan itu tentu tidak hanya untuk digenggam dalam angan, namun harus mewujud dalam karya yang terasa. Bagi Pdt. Patty sekian banyak aktivitas yang ia dan banyak rekan lain rintis untuk mendorong kesadaran dan mewadahi harapan itu adalah hal yang mesti terus berjalan serta terus-menerus dievaluasi dan bertumbuh.

Apa hal-hal itu tidak melelahkan?

Saya tidak merasa itu melelahkan. Kalau boleh dibilang ini seperti perumpamaan penabur. Kita harus terus menabur, menyuarakan dan mengusahakannya. Bisa jadi buahnya tidak hanya dituai di GKI, tapi di gereja lain atau umat beragama lain. Kita juga menuai banyak kebaikan dari orang lain. Nah… itu sisi pendeta saya langsung keluar,” tutup Pdt. Patty dengan senyum optimis.

Dimuat di: Selisip.com

Bagikan

ARTIKEL TERKAIT

Mengubah Tantangan Menjadi Peluang!

Ditangkapnya Yohanes adalah malapetaka bagi keadilan dan kemanusiaan. Seorang yang tidak pernah melanggar hukum justru ditangkap dan dijebloskan dalam penjara.…

Neraka di India: Covidiot & Religidiot

Koran The Guardian (21 April 2021) memberitakan bahwa India mulai memasuki era “Neraka Covid.” Ya, India menjadi neraka.  Korban Covid…

Tolong Jangan Reproduksi Imperialisme Budaya!

Sebuah kelompok drama anak-anak mempersiapkan diri menghadapi perayaan Natal. Semua peran sudah terisi. Ada dua peran yang masih kosong yaitu…

Pdt. DR. Albertus Patty: Gereja di Pusaran Instrumentalisasi Agama

Beberapa hari jelang pemilihan kepala daerah serentak (pilkada) Juni lalu, Pdt. Albertus Patty cukup banyak dibanjiri pertanyaan dari jemaat dan…