Perangi Kebodohan dengan Otak yang Encer

Dimana-mana perang selalu mengerikan. Korbannya bukan saja para tentara, tetapi juga masyarakat biasa yang tidak berdosa, terutama kaum perempuan dan anak-anak. Begitu hebatnya daya destruktif dari sebuah perang sehingga, peradaban yang sudah dibangun berabad-abad bisa hancur lebur dalam beberapa hari.

Lihatlah Irak dan Suriah yang pasti membutuhkan waktu sangat lama untuk membangun peradaban mereka. Bukan saja infrastruktur yang hancur harus dibangun, penyembuhan trauma perang harus dilakukan, tetapi juga rasa saling percaya antar masyarakat dan antara masyarakat dan pemerintah harus dibenahi. Butuh waktu lama untuk pemulihannya.

Sebesar apa pun skalanya, perang harus dihindari. Perang harus menjadi alternatif paling akhir, bila pendekatan dialog sudah buntu. Kemampuan menyelesaikan persoalan melalui jalan dialog yang rasional adalah indikator tingginya peradaban sebuah bangsa. Sebaliknya, menyelesaikan persoalan dengan kekerasan dan perang adalah tanda kebiadaban.

Bangsa Indonesia pun pernah mengalami perang, yaitu perang kemerdekaan. Banyak pejuang gugur dalam peperangan merebut kemerdekaan karena ratusan tahun bangsa ini hidup dalam penjajahan, dalam dehumanisasi. Perang menunjukkan tekad kita untuk memperoleh kesetaraan dan kebebasan seperti bangsa-bangsa lain di dunia.

Betapa pun pahit, perang kemerdekaan adalah sebuah blessing in disguise. Perang itu menunjukkan bahwa kemerdekaan Indonesia bukanlah pemberian kolonialis, tetapi hasil perjuangan bersama. Perang kemerdekaan adalah momentum penting bagi para pejuang dari berbagai suku dan agama untuk bersatu padu dan bekerjasama demi kemerdekaan Indonesia.

Perang kemerdekaan adalah saksi bisu bahwa semua kelompok sangat berjasa. Kemerdekaan Indonesia adalah karya kolektif semua anak bangsa.

Kini, Indonesia sudah merdeka. Perang dengan senjata dan dengan kekerasan sudah berhenti. Kini kita harus berperang melawan kebodohan, ketidakadilan dan kesenjangan ekonomi. Musuh baru ini harus dihadapi dengan otak yang encer, bukan dengan otot tebal. Harus dengan integritas dan kejujuran, bukan dengan jiwa kotor para koruptor.

Oleh karena itu, peperangan pada masa kini bukan membebaskan diri dari tawanan orang lain, tetapi perjuangan untuk merdeka dari egoisme diri!

Salam,
Albertus Patty

Bagikan

ARTIKEL TERKAIT

Anies Baswedan Bapak Toleransi Beragama?

Pada 16 Oktober 2022, persis di ujung masa kepemimpinannya sebagai Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dianugerahi julukan sebagai “Bapak Toleransi…

Gerakan Relawan?

Ada fenomena menarik jelang Pemilu 2024. Fenomena itu adalah makin besarnya peran relawan seperti Projo, DGP dan lainnya. Ada puluhan…

Sabam Sirait & Spiritualitas Politiknya

Membicarakan sepak terjang Sabam Sirait dalam dunia politik selalu menarik. Apalagi bila dikaitkan dengan bukunya "Politik itu Suci." Konon, gagasan…

Ketaatan Agama Tanpa Logika

Dengan heran saya selalu bertanya: mengapa para teroris tega menabrakkan pesawat berpenumpang ke gedung WTC? Padahal, konon, para teroris yang…