PGI & Antisipasi Perpindahan Ibu Kota!
Pada 26 Agustus 2019, Presiden Joko Widodo mengumumkan rencana pemindahan lokasi ibu kota. Sehari setelahnya muncul kekhawatiran atas sepak terjang mafia tanah. Harga tanah yang berkisar 30 juta/hektar beberapa hari kemudian melonjak ke 70 juta/hektar. Sekarang harganya melambung menjadi ratusan juta/hektar. Seperti kita ketahui, kecamatan Sepaku dan Kecamatan Samboja ditetapkan menjadi lokasi pembangunan pusat pemerintahan baru yang akan beroperasi di sana pada 2024.
Ada sekitar 36 ribu jiwa warga asli Kalimantan yang berdomisili di kedua kecamatan itu. Mereka bekerja sebagai petani di perkebunan sawit, karet, dan lada. Mereka merespon perpindahan ibu kota ke daerahnya dengan perasaan ambigu alias mendua.
Pada satu sisi mereka gembira karena daerah mereka akan menjadi ramai dan akan muncul banyak kesempatan baru. Sisi lain, mereka cemas karena lahan yang mereka miliki secara turun-temurun bakal tergusur oleh maraknya pembangunan ibu kota baru yang oleh pemerintah ditargetkan menampung 1,5 juta orang. “Kami ingin daerah kami ramai, tapi bukan berarti kami menderita, dan hanya menjadi penonton,” kata salah seorang petani. “Pendatang sudah hidup di tanah kami. Mereka makmur. Sementara kami tetap melarat dan bisa lebih melarat kalau ibu kota ada di sini,” lanjutnya.
Seperti yang terjadi pada kota-kota baru di manapun, ibu kota yang baru di Kalimantan pun akan seperti gula yang dikerubungi semut. Para pendatang dari berbagai latar belakang tingkat pendidikan, keahlian, budaya, dan agama akan datang, tinggal dan mengembangkan komunitasnya di situ. Berbagai denominasi gereja pun akan ‘menyerbu’ ke situ. Gereja-gereja lokal Kalimantan harus siap membuka diri, ikut memfasilitasi sekaligus bekerjasama.
Satu hal yang pasti, wajah demografi Kalimantan akan berubah total. Berbagai budaya akan merembes ke sana. Penduduk lokal akan mengalami keterkejutan dan bahkan shock culture. Apalagi para pendatang jauh lebih terampil dalam segala aspek, termasuk lebih tinggi tingkat pendidikannya. Bila tidak diantisipasi, seperti yang terjadi di daerah lain, penduduk lokal akan termarjinalkan dan tersingkirkan dalam segala aspek kehidupan, terutama ekonomi.
Mereka akan menjadi orang asing di daerahnya sendiri. Gejala ini telah terjadi di berbagai daerah. Misalnya di Papua, Mamasa, Ambon, dan sebagainya. Bila proses marjinalisasi ini terus berlangsung, cepat atau lambat, akan menimbulkan ketegangan dan bahkan ledakan sosial baru. Situasi ini harus segera diantisipasi.
Lalu apa yang bisa kita lakukan? Gereja-gereja kita, termasuk PGI harus pandai mencari dan menggali kesempatan dan peluang yang muncul dalam proses perpindahan ibu kota ini. Pada sisi lain, gereja-gereja kita dalam koordinasi PGI, harus memperkuat kerja nyata oikoumenis.
Gereja-gereja kita harus secepatnya menjalin kerjasama dengan gereja-gereja lokal di Kalimantan untuk mempersiapkan penduduk lokal, terutama jemaat-jemaat lokal, agar mereka siap menghadapi berbagai perubahan dan lebih trampil untuk berkompetisi dengan para pendatang. Kreatifitas, disiplin dan kemampuan enterpreneurship masyarakat lokal harus ditingkatkan. Saya yakin gereja-gereja lokal di Kalimantan membutuhkan kerja nyata oikoumenis kita semua.
Perubahan memang sangat cepat. Meski kita agak terlambat, tidak ada salahnya bila pada Sidang Raya PGI di Sumba nanti mulai diangkat dan didiskusikan peran dan tantangan gereja-gereja, terutama gereja lokal Kalimantan, dalam proses perpindahan ibu kota.
Salam,
Albertus Patty