Realitas Cerita Belle dalam Keseharian
Belle, nama gadis itu, menceritakan pengalaman hidupnya yang luar biasa. Melalui blog internetnya, ia katakan bahwa ia divonis menderita kanker usus stadium empat pada usia 20 tahun. Dokter mengatakan usianya tinggal beberapa bulan lagi. Ia hampir putus asa. Tetapi, ia memilih berjuang melawan penyakitnya.
Ia menerapkan pola hidup sehat, menghindari makanan yang berpotensi menyuburkan kankernya seperti daging dan susu. Sebaliknya, ia mengonsumsi buah-buahan dan sayuran, cukup istirahat, serta disiplin berolah raga. Hasilnya menakjubkan. “Saya sembuh total,” katanya.
Cerita dan foto-foto Belle menginspirasi ratusan ribu orang. Pengalaman kemenangan disambut luar biasa! Banyak orang percaya bahwa kemenangan pasti datang bila mau berjuang dan menerapkan pola hidup sehat. Sangat sederhana!
Tetapi yang lebih luar biasa adalah cerita Belle hanya fantasinya saja. Ia tidak pernah mengidap kanker. Ia ingin popular. Ingin menjadi terkenal, lalu ia mengarang cerita bohong. Tetapi, cerita itu dipercaya dan terus di-’forward’ kemana pun.
Cerita Belle adalah realitas kekinian yang dinamakan post truth. Dalam dunia post-truth fakta tidak terlalu berpengaruh dibandingkan emosi dan keyakinan personal. Kalau sudah yakin, orang tidak ingin menguji kebenaran suatu berita. Pokoknya percaya!
Stephen Colber menyatakan bahwa dalam era post-truth banyak hal yang seolah benar padahal tidak benar. Orang tetap percaya! Akibatnya, informasi hoax lebih punya pengaruh dan lebih dipercaya daripada fakta sebenarnya.
Orang merespon positif informasi sebagai sebuah kebenaran bila informasi itu meneguhkan keyakinannya. Bila tidak sesuai dengan keyakinannya, meski berita itu benar, tidak akan dipercaya! Bila tidak suka pada Ahok atau Jokowi, misalnya, berita miring tentang mereka langsung dipercaya tanpa keinginan menguji kebenarannya.
Sebaliknya, berita positif tentang mereka, meskipun itu fakta, ditolak! Maka kebenaran dan kebohongan makin kabur! Kejujuran dan kemunafikan berkelindan. Cerita manis atau buruk tergantung pada emosi penerimanya. Kejahatan atau kebaikan bukan tergantung pada pesan Kitab Suci, tetapi pada ‘mood’ seseorang.
Butuh cinta, kedalaman spiritual, dan hati yang bijak untuk merespon hidup yang makin janggal.
Salam,
Albertus Patty