Refleksi: HUT PGI & Krisis Bangsa!
Masih adakah yang bisa kita syukuri saat ini? Masih! Kita bersyukur PGI memasuki usia yang ke-70. Tetapi, kita juga prihatin karena HUT PGI ini dirayakan di tengah multi krisis akibat pandemi Covid-19 dengan segala efeknya. Jutaan orang terpapar virus. Ratusan ribu orang mati sia-sia. Jutaan kehilangan pekerjaan, lalu miskin mendadak. Jutaan lain panik, stress dan frustrasi.
Jelas, ini bukan krisis biasa. Ini extra-ordinary crisis! Semua terkena imbasnya, termasuk gereja-gereja. Ini konteksnya! Lalu, orang panik menjerit: kami ingin tahu respon gereja terhadap extra ordinary crisis ini?
Krisis ini seperti gelombang tsunami. Kekuatannya dahsyat. Ia menerjang dan menghancurkan apa pun, dan siapa pun. Seperti epilepsy, datangnya mendadak! Tak terduga! Orang cemas! Tidak ada yang tahu kapan berakhir. Kita blank, tak jelas setelah ini apa lagi?
Memang, hidup bukan drama di atas panggung. Dalam drama kita punya script. Ada naskah. Kita tahu lakonnya. Tahu alur cerita. Paham yang akan terjadi, dan akhir ceritanya. Predictable! Tetapi, dalam hidup riel semuanya beda. Tak ada script! Allah tidak berikan naskah. Kita tak tahu apa yang akan terjadi.
Ada banyak momen ‘epilepsy.’ Momen dadakan. Penuh kejutan! Keluar dari kegentingan yang satu masuk dalam kegentingan lain. Dan, kita tidak punya pilihan, kecuali meresponnya. Hidup adalah rentetan respon. Hanya itu satu-satunya cara menjadi kuat, kreatif dan matang! Nah, apa responmu?
Ada beberapa respon. Pertama, orang terjangkit neurosis mind. Mudah nervous, takut, panik, dan frustrasi. Iman layu! Ada ketidakberdayaan. Putus asa! Mereka menjerit, menangis. Spiritualitas lumpuh! Lalu, mati melotot. Bagi yang lain, krisis itu ancaman personal.
Responnya satu: menjaga diri agar survive! Cara apa pun diambilnya. Altruisme tak laku! Cinta basi. Satu-satunya norma adalah survival of the self. Ego sentrisme jadi tuhan. Harus dibela mati-matian. Apa pun caranya. Korupsi pun halal. Kesempatan memperkaya diri! Yang lain jadi instrumen. Boleh ditindas, dieksploitasi, dan dibinasakan. Efeknya degradasi moral akut. Semua jadi serigala bagi semua. Kanibal!
Sebagian lain memilih tak perduli. Dunia memang ‘ambyar,’ kacau-balau! Fokus agama bukan dunia ini, tetapi seberang sana. Eskapis! Urusan agama soal ritual, bukan yang fana. Yang spiritual, bukan material. Jadi apatislah! Lalu, bagaimana dengan yang menangis dan menjerit? Biarkan!
“Penderitaan di dunia ini tidak sebanding dengan kebahagiaan kelak di dunia seberang sana,” itu ideologinya. Frigidity! Dingin! Ketiga respon ini membuat gereja menjadi irrelevant dan insignificant. Ada, tetapi minus pengaruhnya!
Masih ada respon lainnya? Masih! Gereja merespon dalam spirit kemenangan Kristus, Sang penyelamat manusia dan dunia. Dalam spirit ini, kita kreatif dan inovatif, plus makin manusiawi. Ketakutan tidak menjebak kita pada egoisme! Sebaliknya, gereja justru jadi penolong siapa pun, apa pun agama, etnik dan gendernya. Ini panggilan moral. Panggilan iman!
“Bertolong-tolonganlah kamu menanggung bebanmu,” kata Kitab Suci! Ia melampaui dinding-dinding imajiner rasistik yang memecah-belah. Kita mengganti polarisasi kami vs mereka! Tak ada subyek-obyek. Yang ada relasi subyek-subyek.
Seperti Yesus, semua menjadi sahabatNya. Dan ini dimulai dari recognisi. “Pengakuan terhadap eksistensi yang lain,” kata Axel Honneth. “Aku ada karena kamu, maka aku ada demi kamu,” kata Albert Einstein.
Kita bagian dari yang lain, yang lain bagian dari kita. “Saat wajah-wajah panik dan ketakutan melihat kita, mereka menuntut pertanggungjawaban moral kita,” seru Levinas. Krisis memang menghantam kita, tetapi ia juga adalah kesempatan menjadi berkat. “Dari buahnyalah orang mengenalmu,” kata Yesus, Sang Pemilik Gereja.
Salam,
Albertus Patty