Respon dan Protes terhadap Keadilan Allah!
Respon dan Protes terhadap Keadilan Allah!
Pertanyaan eksistensial banyak orang sakit dan menderita akibat pandemi Covid-19 adalah: dimana Engkau, ya Allah? Mengapa Allah diam saja? Apakah Allah terlalu lemah dan telah kehilangan kuasaNya? Ini tuntutan manusia terhadap theodicy, teologi keadilan Allah.
Manusia butuh alasan rasional yang memuaskan. Bila harus menderita dan bahkan mati, lebih baik menderita dan mati dengan alasan yang jelas dan masuk akal. Ini lebih baik daripada daripada mati penasaran tanpa jawaban apa pun.
Konon, ada kepercayaan, orang yang mati penasaran rohnya akan gentayangan. Jangan tanya saya benar atau tidaknya! Saya belum pernah alami!
Ada banyak upaya menjawab pertanyaan eksistensial di atas. Sayangnya, jawaban yang ada sering justru membebani subyek penderita. Si korban menderita karena kesalahannya atau karena Allah menghukumnya akibat dosanya pada masa lalu. Jawaban seperti ini tidak etis. Tidak manusiawi! Jawaban seperti ini justru memperberat penderitaan bagi penderita.
Jawaban lain yang dikemukakan adalah bahwa penderitaan ini ada dalam rencana masa depan Allah. Elie Wiesel, sastrawan terkemuka Yahudi menolak tegas jawaban spekulatif ini. Jawaban ini justru memunculkan pertanyaan baru: apakah benar Allah yang baik mengijinkan hal yang buruk dan sangat jahat dalam rencanaNya itu? Intinya, jawaban-jawaban di atas belum ada yang memuaskan. Orang masih bingung dan makin penasaran.
Pertanyaan-pertanyaan eksistensial itu pun dilontarkan jutaan orang Yahudi saat Hitler menginjak dan mengolok-olok martabat mereka. Di hadapan seringai Nazi yang mempermainkan nyawa, orang Yahudi bertanya: dimana Allah? Tetapi, mereka tidak mendengar jawaban apa pun! Sunyi! Mereka frustrasi karena Allah diam! Mereka mengalami the absence of God! Allah tidak hadir!
Secara spiritual dan emosional, pengalaman ini sangat menyedihkan. Menyakitkan! Orang Yahudi menamakan penderitaan tak terperikan itu Ha-Shoah, berarti bencana atau penghancuran. Meski demikian, Ha-Shoah memiliki makna yang lebih dalam yaitu: pengalaman ketidakhadiran Allah! Tetapi, benarkah Allah sama sekali tidak hadir? Elie Wiesel punya jawaban.
Dalam bukunya Night, Elie Wiesel menceritakan pengalaman mengerikan yang dialaminya di Auschwitz, kamp konsentrasi penyiksaan Nazi. Wiesel menceritakan sepenggal kisah yang sangat menggugah:
“Para tentara Nazi menggantung tiga orang Yahudi, dua orang pria dewasa dan seorang pemuda di depan seluruh tawanan dalam kamp. Kedua pria tersebut mati dengan cepat, namun pemuda tersebut bergumul dengan kematian selama setengah jam. “Di manakah Allah? Di manakah Ia?” Seseorang di belakang saya bertanya. Ketika pemuda tersebut masih tergantung dan tersiksa dijerat tali untuk waktu yang lama, saya mendengar seseorang yang lain berteriak, “Di manakah Allah sekarang?” Dan saya mendengar suara di dalam batinku menjawab, “Ia ada di sini. Ia sedang tergantung di tiang gantungan itu.”
Tulisan Wiesel ini dipahami sebagian orang sebagai deklarasi Wiesel terhadap kehadiran Allah, tetapi Allah yang hadir itu turut menderita bersama yang menderita.
Sebagian lain memahami tulisan Wiesel secara berbeda. Bagi mereka Wiesel sedang tidak mendeklarasikan kehadiran Allah. Ini kesimpulan yang sangat spekulatif dan kurang punya daya moral dan etis. Bagi sebagian orang ini, melalui penggalan cerita Allah yang turut menderita bersama mereka yang menderita sesungguhnya Wiesel sedang melakukan protes keras terhadap ketidakadilan dan penderitaan yang dialami manusia.
Di sinilah pesan moral-etisnya, jangan cuma ikut menderita bersama yang menderita, tetapi proteslah, lakukanlah sesuatu untuk menghentikan penderitaan itu. Sesungguhnya Wiesel sedang mendorong kita melakukan protes keras terhadap ketidakadilan dan penderitaan sesama yang terjadi baik karena ulah manusia maupun karena ulah Allah, terutama yang “atas nama Allah.”
Kegagalan melakukan protes terhadap ketidakadilan dan penderitaan sesama bukan saja membiarkan kejahatan dan penindasan menjadi sang pemenang, tetapi juga menunjukkan lumpuhnya tanggungjawab moral dan spiritual kita.
Orang yang menghayati keberagamaannya pasti memiliki kemampuan memerotes ketidakadilan dan penderitaan yang terjadi. Di dalam dan melalui protes itu, kebenaran akan ditegakkan dan diluruskan. Sebaliknya, di dalam dan melalui aksi protes, segala klaim kebenaran dikritisi dan dikoreksi demi tegaknya keadilan dan kemanusiaan.
Anda bebas, boleh setuju dan boleh tidak setuju dengan gagasan Elie Wiesel dan berbagai respon lainnya dalam menyikapi penderitaan manusia. Terlepas dari itu, dalam iman, kita semua terus berupaya mengungkapkan misteri jawaban dan tindakan Ilahi di balik berbagai persoalan dan penderitaan yang kita hadapi.
Pesan Wiesel hanya satu: jangan hanya setiap dalam iman tetapi jadikan iman sebagai penggerak untuk memerotes ketidakadilan dan penderitaan yang ada di sekitar kita. Tantangan ini membuat kita harus tetap kuat dan kreatif!
Salam,
Albertus Patty