Rumah Gereja atau Gereja Rumah?
Pada 27 Maret 2020 sore terjadi diskusi online menarik. Pesertanya mahasiswa dan pendeta dari berbagai pelosok Indonesia. Saya merasa terhormat karena diminta menjadi pemantik diskusi anak-anak muda tersebut. Temanya menantang: “Beriman Secara Otentik: Umat Kristen di tengah Bahaya Pandemi Covid-19.” Percakapan berpusat pada isu bagaimana seharusnya gereja-gereja merespon pandemi Covid-19 ini dengan segala efeknya.
Disadari bahwa Covid-19 ini ‘momen kejutan’. Kehadirannya tidak diantisipasi oleh siapa pun. Pandemi ini memberi pesan bahwa hidup ini bukan seperti menempuh jalan bebas hambatan. Selalu ada distraction. Ada gangguan! Ada momen kejutan. Ini bagian inheren kehidupan!
Disadari betapa sejarah sering dibentuk oleh respon terhadap berbagai momen kejutan itu. Teologi adalah salah satu respon terhadap momen-momen kejutan itu. Dalam setiap respon kreatif itulah gereja menemukan dan menjadi dirinya. Otentik! Ada dinamika! Gereja bukan makhluk statis. Ia tidak terbeban oleh teologi lama yang usang dan tidak lagi relevan.
Nah, bahaya terbesar adalah saat gereja terjebak dalam idolatry terhadap teologi yang dipegangnya. Tugas terbesar gereja adalah membaca tanda-tanda zaman dan memahami apa yang Allah kerjakan dalam situasi itu, lalu ikut berpartisipasi dalam pekerjaaNya yang menyelamatkan semua!
Disinggung juga betapa pandemi ini mengubah banyak hal: ada perubahan relasi personal dan sosial, masalah ekonomi terutama kemiskinan, politik, hubungan antar agama, hubungan antara bangsa, pola beribadah dan bahkan soal teologi. Perubahan yang ada menuntut semacam revisi teologis. Hal yang dulu dipercaya sebagai baik dan benar kini obsolete. Usang dan tidak relevan!
Disadari juga betapa gereja-gereja daerah tidak siap dengan ibadah online. Ketidaksiapannya karena minimnya kapasitas SDM, mahalnya teknologi, buruknya koneksi internet, dan terutama karena keyakinan teologis yang dipegang umat.
Keyakinan itu adalah umat harus beribadah di rumah gereja (baca: gedung gereja). Bukan di rumah umat! Keyakinan itu diperkuat pengalaman spiritual berkaitan dengan gereja. Saat konflik antar agama meledak, sebagian umat memutuskan melarikan diri ke gereja sebagai rumah Tuhan. Keputusan itu menyelamatkan mereka.
Pengalaman spiritual ini meyakinkan umat bahwa Covid-19 pun tidak akan berdaya saat di rumah Tuhan. Mereka tidak tahu bahwa sekarang ini ada banyak aktifitas di gereja yang mengakibatkan banyak umat terpapar Covid-19. Dari sinilah, salah satu peserta diskusi memunculkan pertanyaan teologis: apakah harus beribadah di rumah gereja atau di gereja rumah (baca: di rumah sendiri)?
Sejarah gereja menunjukkan adanya evolusi tempat dalam beribadah. Evolusi muncul sebagai respon terhadap momen kejutan. Awalnya, kekristenan adalah bagian dari agama Yahudi. Beribadahnya di sinagog. Ini keharusan! Itulah sebabnya, umat Yahudi disebut “Sons of The Synagogue.”
Tradisi ini pasti mempengaruhi umat Kristen. Tetapi imannya pada Yesus sebagai Mesias, friksi politik, plus pertumbuhan pesat mencemaskan umat Yahudi. Kekristenan pun dilabel sekte sesat. Efeknya, umat Kristen dilarang beribadah dalam sinagog, dan bahkan dipersekusi. Apalagi pada tahun 70 AD pasukan Romawi menghancurkan ratusan sinagog sehingga orang tidak bisa lagi beribadah di sinagog.
Momen di atas mengubah cara pandang Kekristenan terhadap rumah ibadah. Tidak ada pilihan bagi umat Kristen, dan umat Yahudi, yang terpaksa beribadah di rumah-rumah umat. Demi keamanan, ibadah pun harus dilakukan dengan berpindah-pindah!
Surat Ibrani mengungkapkan perubahan liturgi: Yesus adalah Imam tertinggi, tidak perlu persembahan binatang sembelihan karena Yesus sendiri telah menjadi korban persembahan, sekali dan untuk selamanya.
Kekristenan pun dipaksa mengidentifikasikan perbedaan dan persamaannya dengan keyahudian. Saat Yesus disalibkan dan mati, para murid yang putus asa bersembunyi dan beribadah dalam rumah-rumah tertutup rapat.
Ada saatnya umat Kristen beribadah di kuburan atau katakombe. Makna yang dikembangkan saat ibadah di katakombe adalah bahwa Allah menyatukan yang hidup dan yang mati! Setelah pertobatan Raja Constantin, umat Kristen memperoleh lagi kesempatan untuk beribadah di gereja atau di rumah ibadah.
Diskusi itu menyimpulkan, ternyata dalam sejarahnya tempat beribadah orang Kristen berpindah-pindah: dari rumah gereja ke gereja rumah, lalu balik lagi ke rumah gereja. Pandemi Covid-19 memaksa kita berubah. Kita kembali beribadah dalam gereja rumah. Jadi, lokasi ibadah itu tergantung situasi sosial-politik, ekologis atau pandemi yang dihadapinya.
Intinya, perpindahan lokasi ibadah adalah respon teologis gereja terhadap momen kejutan yang dihadapinya. Ada dinamika! Ada fleksibilitas! Ternyata, yang terpenting bukanlah dimana kita beribadah. Yang terpenting adalah ibadah itu, dimana pun adanya, memperkuat iman dan keyakinan kita pada Tuhan, Sang Penyelamat umat manusia dan dunia, serta sekaligus memanusiakan kita sendiri.
Salam,
Albertus Patty