Sekat-sekat Imajiner, Perempuan Siro-Fenisia
Sikap rasis terjadi ketika orang mulai memisah dan memilah yang lain berdasarkan sekat-sekat imajiner. Seseorang tidak dipandang sebagai manusia apa adanya, tetapi dilabel berdasarkan agama, etnik, gender, orientasi seksual, status sosial ekonomi, dan sebagainya. Sekat-sekat imajinatif itu diproduksi dan dimanipulasi untuk mengabsahkan ketidakadilan dan penindasan terhadap mereka yang berbeda. Ada yang digeser jabatannya karena dia Kristen. Teman lain dibenci karena ia Islam. Waaah…
Kita warisi sekat-sekat imajinatif itu dari kaum kolonialis dengan politik devide et empera-nya. Ada rekayasa sosial! Kolonialis memilah manusia berdasarkan etnik. Belanda dan Eropa ras nomor wahid. Sombong! Orang China dan Jepang ranking dua. Kaum pribumi, inlander dilabel kasta terendah. Mereka tersekat-sekat! Haram berinteraksi.
Lalu, diciptakan mitos agar mereka saling membenci. Kebijakan politik pun mengikutinya. Hasilnya, kita menjadi bangsa diskriminatif! Tan Joe Hok, mantan bintang bulutangkis Indonesia, pernah mengeluh, ”Saya berjuang habis-habisan demi kejayaan merah putih, tetapi saya didiskriminasi karena ke-Tionghoa-an saya. Masukan anak ke sekolah susah. KTP-pun ditandai.” Sebaliknya, seorang pelajar, yang dilabel pribumi, stress berat karena dibully teman-teman Tionghoanya. Semua saling membenci dan saling mendiskriminasi!
Agama yang dimanipulasi bisa berkontribusi pada praktek segregasi dan diskriminasi. Orang memanipulasi ayat-ayat suci untuk menjustifikasi penindasan terhadap sesama. Sekat imajinatif dibangun tinggi. Orang dihormati atau direndahkan berdasarkan kategori: Terang vs gelap, anak Tuhan vs anak setan, orang baik vs kaum sesat, laki-laki vs perempuan, umat Allah vs kaum kafir.
Yang celaka, bila masyarakat dan bahkan negara mengadopsinya. Bangsa Israel contohnya! Mereka merendahkan bangsa-bangsa lain. Bahkan, orang Siro-Fenisia dilabel anjing! Ini dehumanisasi! Dari sinilah muncul peristiwa kontroversial.
Saat perempuan Siro-Fenisia meminta bantuan, Yesus melabelnya ‘anjing.’ Haram itu! Duuuh…! Mengapa Yesus sekasar itu? O, Yesus ingin tahu responnya: apakah perempuan itu memiliki pendirian yang kokoh sehinggga mampu mengabaikan label manipulatif ciptaan manusia?
Ternyata, respon perempuan ini memang luar biasa! Ia tenang. Kokoh! Mampu mengontrol diri. Ia maju terus memohon belas-kasihan Yesus terhadap anaknya yang sakit. Di balik sikapnya terbersit keyakinannya pada Yesus.
Ia percaya cinta Yesus melampaui sekat-sekat jahat primordialistik buatan manusia. Imannya tidak sia-sia! Yesus pun takjub padanya! Yesus menolongnya! CintaNya melampaui sekat-sekat primordialisme apa pun. Rekayasa sosial diskriminasi dan kebencian dilawannya. Memang, Yesus hadir untuk semua.
Yesus memberi contoh betapa kita harus menghormati martabat dan kemanusiaan sesama! Stop mendiskriminasi atau merendahkan siapa pun atas nama apa pun, apalagi atas nama agama. Sesungguhnya penistaan terbesar terhadap agama adalah ketika ayat-ayat suci atau pesan agama dimanipulasi untuk menindas dan mendiskriminasi manusia dan kemanusiaannya.
Salam,
Albertus Patty