Selamatkan Bumi, Selamatkan Manusia!
Franciscus dari Asisi menggambarkan bumi dengan sangat menarik. “Bumi itu,” katanya, “seperti sebuah kitab suci.” Franciscus percaya bahwa Allah berbicara melalui kitab suci, berupa buku yang tertulis, tetapi juga melalui bumi sebagai semesta kehidupan.
Allah berbicara dan bertindak melalui gunung, laut, danau, sungai, langit dan cakrawala. Allah beraksi melalui pepohonan, air, guntur, burung-burung yang bernyanyi dan melalui berbagai jenis binatang. Melalui bumi dan isinya, kita mendengarkan ucapan cinta kasih-Nya kepada bumi, manusia dan makhluk lainnya.
Ucapan Franciscus dari Asisi ini mengingatkan kita pada kata-kata Pemazmur: “Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan–Nya” (Mazmur 19:2). “Suara Tuhan di atas air, Allah yang mulia mengguntur. Tuhan di atas air yang besar (29:3).
Franciscus dari Asisi dan pemazmur sangat menghormati langit dan bumi yang indah, ciptaan Allah. Ada glorifikasi, tetapi tanpa pemberhalaan, karena langit dan bumi bukanlah ‘tuhan.’
Langit, bumi dan segala makhluk hidup itu paradoks. Memang, mereka menampilkan keindahan dan kebaikan, tetapi mereka juga ‘kekuatan’ yang merusak. Angin puyuh, gelombang tsunami atau gunung yang meletus sangat membahayakan.
Itulah sebabnya, kita harus hidup dalam ‘harmoni’ dengan langit, bumi dan segala makhluk. Mereka butuh kita. Kita pun butuh mereka. Kita harus memelihara dan menjaganya. Tragedi bagi langit dan bumi adalah bencana bagi kita semua.
Ironisnya, tragedi bagi langit, bumi dan segala isinya diawali oleh manusia. Ketika ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat, tragedi pun dimulai. Memang, ilmu pengetahuan dan teknologi adalah anugerah. Manusia mampu mengatasi banyak hal, sehingga kita, mengutip pemazmur “hampir sama seperti Allah” (Mazmur 8). Persoalan penyakit dan kelaparan dapat kita atasi. Kita mampu meningkatkan kualitas hidup. Batas usia kematian pun diperpanjang, hidup dimudahkan.
Tetapi, ilmu pengetahuan dan teknologi itu ambigu, mendua. Langit, bumi dan segala makhluk diturunkan derajatnya. Manusia jadikan itu semua sebagai obyek. Kita mengeksploitasinya. Habis-habisan! Harmoni manusia dan alam raya rusak parah. Kita hancurkan hutan, gunung, sungai, danau dan lautan. Kita lakukan ekosida, pembinasaan bumi dan segala isinya.
Kita musnahkan segala jenis binatang. Kita lupa bahwa saat langit, bumi dan segala isinya dihancurkan, sesungguhnya kita sedang menghadirkan bencana bagi diri sendiri dan bagi generasi mendatang. Ekosida berujung pada genosida bagi diri sendiri.
SOS Bumi!
Pertanyaannya adalah, apa yang Alkitab katakan di tengah kecenderungan ekosida yang mengancam kehidupan umat manusia dan segala makhluk ini? Alkitab memberitakan bukan saja keselamatan manusia, tetapi juga keselamatan langit, bumi dan segala isinya. Saat air bah hampir turun, Allah menyuruh Nuh untuk memasukkan keluarga dan segala jenis binatang ke dalam bahteranya.
Artinya keselamatan Allah bukan saja bagi manusia, tetapi juga bagi segala makhluk. Kedatangan Kristus juga akan menghadirkan langit baru dan bumi yang baru (Wahyu 21), dan akan ada pohon kehidupan yang memulihkan bangsa-bangsa (Wahyu 22:2).
Jadi, tugas dan tanggung jawab manusia bukan saja untuk menjaga manusia dan kemanusiaannya, tetapi juga merawat langit, bumi dan segala makhluk yang berada di dalamnya.
Panggilan merawat bumi dan segala isinya menjadi sangat serius terutama dalam mencegah penghancuran bumi dan segala isinya. Franciscus dari Asisi mengatakan hal menarik lainnya. Dia katakan bumi adalah ‘ibu’ yang memberikan kita makanan, minuman dan kehidupan. Menghancurkan bumi berarti menghancurkan ibu yang telah merawat dan memberi kehidupan bagi kita. Menghancurkan bumi berarti akan menghancurkan diri kita sendiri.
Ada beberapa rekomendasi yang perlu kita perjuangkan bersama. Pertama, sudah saatnya perusahaan memiliki Corporate Social and Ecological Responsibility (CSER). Tidak cukup hanya tanggungjawab sosial. Para pengusaha harus juga memiliki kesadaran untuk memiliki tanggung jawab ekologis.
Kedua, kita harus perjuangkan agar kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dibarengi dengan kesadaran merawat ‘ibu’ bumi dan segala isinya. Ketiga, sudah saatnya kebijakan politik dan ekonomi diarahkan untuk menjaga harmonisasi kehidupan antara manusia dan lingkungan alam serta menjaga keberlanjutan bumi dan segala isinya.
Terakhir, gereja tidak boleh apatis. Sebaliknya sudah harus berbicara dan bekerja merawat bumi ciptaan Tuhan demi keselamatan semua!