Stop Melanggar Batas!
Adam dan Hawa boleh melahap buah atau me-‘lalab’ daun pohon apa pun. Bebas! Semua pohon boleh dilalap, kecuali satu-satunya pohon yang Tuhan kecualikan. Pohon itu terletak di tengah taman Eden. Itu tidak boleh disentuh, apalagi dimakan! Pesannya jelas, tidak ada kebebasan absolut. Selalu ada batas. Dan batas itu ‘haram’ dilanggar! Meski demikian, apa yang disediakan Tuhan sudah berlebihan. Lebih dari cukup! Ini bukan makna personal yang jumlahnya serba relatif.
Seseorang merasa cukup hidup 25 ribu sehari. Bagi yang lain cukup itu bila 500 ribu per hari. Cukup itu relatif! Apalagi saat orang asyik hidup dalam kesendiriannya. Dalam spiritualitas keugaharian justru sebaliknya. Cukup bermakna sosial dan relasional. Maksudnya? Orang diajak untuk memikirkan orang lain dan melakukan aksi agar terjadi situasi ‘cukup untuk semua’. Tidak ada yang berlebihan! Tidak ada yang kekurangan!
Cukup untuk semua menyiratkan dua sikap etis. Pertama, kemampuan mengontrol nafsu dan keinginan yang membuncah tanpa kontrol. Kedua, relasional! Memikirkan kebutuhan ‘yang lain’ yaitu sesama dan makhluk hidup, termasuk memperhitungkan keseimbangan bumi dan kosmos ini. Kebutuhan ‘yang lain itu harus dihormati! Celakanya, dalam kedua aspek ini Adam dan Hawa tergelincir. Mereka gagal mengontrol nafsu dan keinginannya. Memang, nafsu selalu menuntut ‘lebih.’ Tidak selalu ini negatif. Sering, nafsu yang lebih menjadi pemicu kemajuan.
Persoalan muncul ketika nafsu menjajah kesadaran diri, lalu mendorong orang melanggar batas-batas kesantunan moral-etik, hukum dan keadilan. Melanggar batas ‘nurani’ kemanusiaan. Dalam aksi ‘langgar batas’ ini orang mempersetankan sesama manusia, segala makhluk dan seisi kosmos. Bahkan mempersetankan Allah! Nafsu tanpa kontrol mendaulat kita menjadi seperti Tuhan! Tidak ada batas.
Segala cara menjadi halal demi dominasi! Nafsu itu hegemonistik! Semua demi ‘aku.’ Egois! Adam dan Hawa pun memetik dan melahap buah ‘terlarang’ itu. Lalu, matilah hati nurani! Terjadilah banalitas ‘melanggar batas.’ Mengorupsi bantuan sosial, melontarkan hoax, mendiskriminasi, menindas dan melakukan ketidakadilan adalah sikap melanggar batas.
Nafsu ‘melanggar batas’ yang diperagakan oleh Adam dan Hawa adalah gambaran tentang kita. Keluarga, institusi agama, masyarakat dan bangsa sering hancur berantakan. Penyebabnya? Karena orang tidak mampu mengontrol nafsunya. Lalu, orang ‘melanggar batas’ moral-etis, melanggar hukum dan keadilan, serta melanggar kemanusiaan sesama dan bumi ini. Saat itulah orang menjadi serigala terhadap sesama, dan bahkan terhadap hati nuraninya sendiri.
Spiritualitas keugaharian memberi peringatan bahwa kebebasan itu ada batasnya. Ada batas yang tidak boleh dilanggar. Haram! Nafsu pun ada kadarnya!
Ketika kebebasan dan nafsu itu melanggar batas-batas moral-etis dan kemanusiaan, atau ketika nafsu sudah menutupi nurani, kita sedang menciptakan sebuah tragedi. Ruang dan waktu dimana kita berada berguncang. terjadilah khaos! Bencana! Ujungnya, bencana itu menghajar diri kita sendiri!
Jadi, berhentilah melanggar batas! Hayatilah spiritualitas keugaharian. Hiduplah dalam semangat ‘cukup untuk semua.’ Spritualitas seperti inilah yang menyelamatkan kita dari kiamat buatan kita sendiri.
Salam,
Albertus Patty