Taliban: Antara Dahlan Iskan dan Ade Armando

Pada 15 Agustus lalu, Taliban berhasil merebut Kabul, ibu kota Afghanistan. Artinya, Taliban berhasil meraih kekuasaan. Pemerintah Ashraf Gani dukungan Amerika Serikat runtuh. Amerika Serikat pun lari tunggang langgang. Politik luar negerinya gagal total.

Kemenangan Taliban ini sedikit aneh. Mereka masuk Kabul tanpa perlawanan. Herannya, rakyat tidak menyambutnya dengan pesta pora. Tidak ada parade kemenangan. Responsnya dingin! Rakyat justru ketakutan. Banyak yang langsung ke airport. Mereka ingin mengungsi ke negara mana pun.

Bagi mereka, Taliban menakutkan. Maklum, pada masa lalu, saat berkuasa, Taliban menerapkan peraturan agama yang ketat dan keras. Perempuan tidak boleh bersekolah. Dilarang bekerja. Mereka didiskriminasi. Bahkan dijadikan budak seks. Nonton TV, main sepak bola, atau hiburan lain diharamkan. Bagi yang melanggar nyawa taruhannya.

Tidak ada kebebasan beragama. Tidak ada toleransi. Umat agama lain bahkan dipersekusi. Patung Buddha yang berumur ribuan tahun pun dihancurkan. Yang menarik, ada dua respons berbeda terhadap kemenangan Taliban ini. Pertama respons yang pesimis dari Ade Armando, dan respons optimis dari Dahlan Iskan.

Melihat rekam jejak masa lalu, Ade Armando, melalui opininya di Cokro TV, menyesali kembalinya kekuasaan Taliban di Afghanistan. Bagi Ade, Taliban adalah kelompok biadab. Mereka membawa malapetaka bagi rakyat Afghanistan, terutama bagi kaum perempuan dan umat agama lain.

Afghanistan memasuki kembali era kegelapannya.  Kaum Taliban memang hidup dalam ilusi menciptakan sorga di atas bumi. Hukum Allah, tentu saja sesuai interpretasi kaum Taliban, harus ditegakkan, apa pun resikonya. Ade mengkhawatirkan kemenangan Taliban akan menginspirasi kebangkitan kelompok-kelompok ekstrim dan radikalis di Indonesia.

Kekhawatiran dan pesimisme Ade masuk akal. Saat berkuasa, kira-kira 20 tahun lalu, Taliban membuat rakyat Afghanistan lebih merasakan kemudaratan daripada manfaat. Meski demikian, Ade Armando melihat Taliban dalam konsep yang deterministik dan statis. Seolah Taliban adalah entitas yang tidak mungkin mengalami perubahan.

Pesimisme Ade Armando menimbulkan pertanyaan. Apakah Taliban yang sekarang akan sama bengis dan biadabnya dengan Taliban yang dulu. Apakah kelompok Taliban tidak mengalami proses moderasi?

Kalau model keislaman Arab Saudi saja bisa berubah dan bisa mengalami proses moderasi, bisakah kita berharap bahwa Taliban yang sekarang pun sudah mengalami proses moderasi? Pertanyaan-pertanyaan di atas itu baru akan terjawab nanti. Jadi, meski pesimisme Ade bisa dipahami, tetapi terlalu cepat untuk dijadikan kesimpulan.

Dahlan Iskan mengambil sikap sebaliknya. Iskan lebih optimis. Melalui tulisannya yang beredar luas di media sosial, Iskan merespons kemenangan Taliban dengan harapan yang besar. Baginya, kemenangan Taliban bukan sekedar kemenangan Islam, tetapi terutama kemenangan kaum nasionalis Afghanistan. Iskan menolak menyamakan Taliban dengan ISIS. Keduanya berbeda. Memang Iskan mengakui bahwa pada masa lalu, sejarah Taliban mirip ISIS, diwarnai dengan kekerasan, kebiadaban, dan kebengisan.

Taliban terkenal dengan kekejamannya terhadap kaum perempuan. Trauma pada kekejaman itu yang membuat ribuan orang ‘ngibrit’ meninggalkan Afghanistan. Tetapi Iskan yakin bahwa Taliban sudah mengalami reformasi internal. Taliban memiliki pemimpin baru yang berbeda. Taliban masa kini dipimpin oleh Mullah Muhamad Rasul dari suku Pastun. Rasul, kata Iskan, adalah pemimpin moderat sekaligus sangat nasionalis yang akan menampilkan Taliban dengan wajah baru.

Taliban sekarang dikuasai oleh Islam aliran Deobandi. Meski mirip Wahabi, Islam Deobandi khas Afghanistan, bukan Islam versi negara lain. Islam aliran Deobandi lebih moderat. Iskan percaya bahwa Taliban versi baru ini akan membentuk pemerintahan inklusi, akan lebih menghormati kaum perempuan dan berpikir lebih maju.

Anda boleh tidak setuju dengan pendapat Dahlan Iskan, tetapi optimismenya mengingatkan kita bahwa sejarah tidak selalu berulang secara sama. Manusia tidak selalu jadi budak masa lalu. Manusia memiliki kapasitas untuk melakukan transformasi terhadap dirinya, terhadap budaya, dan terhadap agama yang mempengaruhinya.

Bila Ade Armando memandang Taliban dengan lebih statis, Iskan justru memandangnya secara lebih dinamis. Bila Ade pesimis, Iskan lebih optimis. Mana yang benar? Kita semua baru bisa membuktikan kebenarannya nanti, saat pemerintahan Taliban sudah berjalan.

Bagi saya, pengalaman masa lalu yang buruk pasti membuat Taliban mengalami banyak perubahan. Jadi saya tidak sepesimis Ade Armando. Tetapi, perubahan Taliban pasti tidak sebesar optimisme Iskan.

Para pemimpin berbagai faksi di Taliban pasti akan hidup dalam ketegangan internal di antara mereka sendiri. Ketegangan antara yang statis dan yang dinamis, yang baru dan yang lama, yang ingin perubahan dengan yang status quo, yang menekankan tegaknya kebenaran agama, dengan kelompok pragmatis yang menekankan kebaikan masyarakat.

Bila ketegangan ini tidak bisa mereka atasi maka yang akan terjadi adalah konflik internal di antara mereka sendiri. Bila itu terjadi, puluhan juta rakyat Afghanistan akan menjadi korbannya. Miris!

Dimuat di: Selisip.com

 

Bagikan

ARTIKEL TERKAIT

Anies Baswedan Bapak Toleransi Beragama?

Pada 16 Oktober 2022, persis di ujung masa kepemimpinannya sebagai Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dianugerahi julukan sebagai “Bapak Toleransi…

Gerakan Relawan?

Ada fenomena menarik jelang Pemilu 2024. Fenomena itu adalah makin besarnya peran relawan seperti Projo, DGP dan lainnya. Ada puluhan…

Sabam Sirait & Spiritualitas Politiknya

Membicarakan sepak terjang Sabam Sirait dalam dunia politik selalu menarik. Apalagi bila dikaitkan dengan bukunya "Politik itu Suci." Konon, gagasan…

Ketaatan Agama Tanpa Logika

Dengan heran saya selalu bertanya: mengapa para teroris tega menabrakkan pesawat berpenumpang ke gedung WTC? Padahal, konon, para teroris yang…