TB Simatupang tentang TNI: Myanmar Bukanlah Indonesia!
Kita prihatin karena militer Myanmar melancarkan kudeta pada Sabtu 1 Februari 2020. Militer menganggap adanya kecurangan dalam Pemilu bulan November. Runtuhlah demokrasi dengan kekuatan senjata! Pemilu itu menghasilkan kemenangan mutlak Liga National Democracy. Aung San Suu Kyi beserta Presiden Win Myint ditahan. Militer mengusai kota Yangon. Kekuasaan diambil alih oleh Jenderal Senior Min Aung Hlaing.
Kita belum tahu situasi Myanmar ke depan. Tetapi, rakyat Myanmar pasti akan berupaya keras merebut kembali demokrasi dan kebebasan yang hilang. Demokrasi di negara ‘Pagoda Emas’ itu memang belum stabil. Pemerintahan demokratisnya di bawah Aung San Suu Kyi selalu dihantui dominasi kekuatan militer.
Pertanyaan yang menarik adalah apakah militer itu ‘compatible’ dengan demokrasi? Apakah militer bisa memperkuat demokrasi atau, melalui pengalaman Myanmar, apakah militer akan selalu menjadi ancaman bagi tegaknya sistem demokrasi. Pertanyaan seperti ini pun pernah diajukan oleh TB Simatupang alias pak Sim.
Pertanyaan pak Sim muncul karena ia hidup dalam ‘mitos’ yang dikembangkan Meneer Haantjes, guru sejarahnya. Haantjes meragukan kemampuan Indonesia membangun persatuan di tengah kemajemukannya, dan efeknya adalah bangsa ini tidak memiliki kemampuan membangun angkatan perangnya yang akan menjaga persatuan sekaligus keanekaragamannya. Ini mitos!
Dalam buku “Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos” (Pustaka sinar Harapan 1991), Pak Sim menulis bagaimana dia tertantang membuktikan ketidakbenaran mitos itu. Ia adalah saksi sekaligus pelaku sejarah yang membuktikan bahwa mitos itu salah besar.
Bangsa Indonesia berhasil memiliki institusi militer beserta prajurit yang tangguh dan peralatan yang modern. Lebih hebat lagi militer Indonesia merupakan bagian bahkan berasal dari gerakan perjuangan rakyat Indonesia demi kemerdekaan. Ada momen ketika Belanda berhasil menduduki Yogyakarta dan berhasil menyandera seluruh pemimpin bangsa, kekuatan tentara bersama seluruh rakyat bahu-membahu meneruskan perjuangan melawan kekuatan Belanda. Bersatunya tentara dan rakyat diikuti juga dengan bersatunya seluruh elemen masyarakat. Efeknya, sejarah membuktikan betapa Indonesia mampu menjadi bangsa yang bersatu dalam negara demokrasi yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Belajar dari sejarah, militer Indonesia justru menjadi kekuatan utama melawan kekuatan kolonialisme dari luar serta ancaman berbagai gerakan dan ideologi, baik idelogi sekuler maupun ideologi berjubah agama, yang mengusung fasisme dan otoritarianisme dari dalam negeri sendiri. Oleh karena itu, pertanyaan apakah militer ‘compatible’ dengan sistem demokrasi? Jawabnya adalah tergantung pada sejarah setiap bangsa. Oleh karena itu pengalaman Myanmar dengan kemiliterannya sangat berbeda dengan pengalaman bangsa Indonesia dengan militernya.
Untuk pertanyaan di atas, Pak Sim menyimpulkan bahwa melalui sejarah, kita belajar bahwa bangsa kita sudah membuktikan ketidakbenaran suatu mitos bahwa militer tidak ‘compatible’ dengan demokrasi. Militer Indonesia bahkan menjadi penjaga demokrasi! Artinya, sangat kecil kemungkinan terjadinya kudeta militer demi kekuasaan dan kepentingan militer Indonesia seperti yang dialami bangsa Myanmar. Militer Indonesia adalah bagian dari kekuatan demokrasi.
Pak Sim sempat menyampaikan harapan dan optimismenya bahwa kekuatan militer (dan kepolisian) Indonesia akan terus membuktikan dirinya sebagai kekuatan yang menjaga sistem demokrasi yang berlandaskan Pancasila. Militer Indonesia akan menjadi garda terdepan yang menjaga marwah bangsa ini agar kita tetap mengamalkan sila keempat yang menjamin tegaknya sistem demokrasi di Indonesia dan sila kelima yang menjamin keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia yang beragam ini.
Rasanya harapan dan optimisme pak Sim adalah harapan dan optimisme kita semua! Jayalah Indonesia. Semoga demokrasi dan kebebasan dipulihkan kembali di Myanmar!
Salam,
Albertus Patty