Tragedi, Harapan dan Kemenangan
Beberapa tahun yang lalu kita dikejutkan oleh sebuah tragedi besar yaitu hilangnya pesawat Air Asia QZ 8501 tujuan Surabaya-Singapore. Pesawat yang membawa penumpang sebanyak 155 orang itu lenyap di sekitar Bangka-Belitung. Tragedi mengejutkan itu mengajak kita merenungkan kembali kehidupan ini dengan segala tantangan yang terjadi di dalamnya.
Tragedi
Tragedi adalah sebuah peristiwa menyedihkan. Ia seperti lobang-lobang besar di jalan tol mulus yang kita lintasi. Mengejutkan! Shocking! Menyebalkan! Zizek, seorang filsuf kontemporer ternama berpendapat bahwa tragedi adalah the real, yakni situasi yang tak terkatakan, yang melepaskan kita dari jaring-jaring rutinitas yang menghanyutkan.
Tragedi selalu mengajak kita memikirkan ulang, kemana kita akan menuju dan apa yang harus kita lakukan. Tragedi adalah bagian dari perjalanan kehidupan yang tidak dapat ditolak oleh manusia. Sepanjang hidup, kita semua pasti mengalaminya.
Tragedi sering datang mendadak. Ia tidak kita undang. Sering bertindak sewenang-wenang. Ia tidak tebang pilih! Siapa pun dihampirinya. Ia merenggut jiwa kita atau orang yang kita cintai, harta benda yang kita sukai atau juga melenyapkan pangkat dan jabatan yang kita miliki. Tragedi seperti singa ganas yang menerkam.
Berhadapan dengan tragedi, kita masuk dalam ketidakberdayaan. Tragedi seperti gelombang-gelombang besar yang menerjang dan menghanyutkan kita.
Tragedi tampil dengan multi wajah. Selain kecelakaan pesawat terbang ada letusan gunung Sinabung memusnahkan sawah, ladang, perkebunan dan perumahan. Dalam sekejab banyak orang mengalami ketidakberdayaan. Masa depan pudar.
Ada korupsi berkepanjangan, ada tanah longsor, pasar Klewer yang terbakar musnah, banjir bandang yang menenggelamkan segala yang diterjangnya, kelaparan, kekerasan, penganiayaan dan bahkan pembunuhan. Ada peraturan atau perundang-undangan yang mendiskriminasi dan menciptakan penindasan dan ketidakadilan.
Tetapi tragedi yang paling memilukan adalah ketika agama digunakan untuk membunuh dan membinasakan diri sendiri dan sesama. Tragedi itu meminjam jubah Tuhan. Orang tidak lagi bisa membedakan mana suara Tuhan, mana suara setan. Apa pun bentuknya, tragedi menimbulkan kerusakan parah. Luka dari tragedi tersebut jauh melampaui apa yang bisa dikatakan.
Semua itu adalah the real yang tiba-tiba memutus diri dan bangsa kita dari rantai rutinitas dan normalitas yang selama ini membuat kita terlena. Tragedi adalah kejutan hidup. Ia menakutkan. Memunculkan kegentaran!
Apa yang nampak dalam tragedi adalah bahwa kita semua vulnerable, makhluk yang rapuh. Memang, manusia adalah makhluk mulia. Pemazmur mengatakan, ”Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tanganMu; segala-galanya telah Kau letakkan di bawah kakinya…” – Mazmur 8:6-7
Tetapi, tragedi mengingatkan kita bahwa kita bukan superman. Memang, kita punya kuasa, tetapi kita bukan maha kuasa. Benar, kita seperti Tuhan, tetapi kita bukan Tuhan. Tragedi menyadarkan kita bahwa kita memiliki banyak batasan, bahkan rapuh!
Ketika tragedi datang, kita bisa frustrasi dan ketakutan. Respon yang salah terhadap tragedi menimbulkan rangkaian tragedi lainnya. Keputusasaan berkepanjangan yang mendorong orang melakukan bunuh diri adalah puncak tragedi. Mati dalam kehampaan, kesendirian dan keterasingan. Binasa sebagai orang yang kalah!
Tragedi sebagai Tontonan
Tragedi bisa diperlakukan seperti sebuah pertunjukkan. Orang hanya tertarik menyaksikan akhir dari sebuah tragedi tanpa mau terlibat di dalamnya. Ketika sebuah tontonan memberikan akhir yang menyedihkan, kita yang menyaksikan jatuh dalam rasa iba mendalam.
Kita menyesali tragedi yang berakhir dalam kehancuran. Kita menangis, tetapi menangis sebagai penonton. Tangisan dan duka tanpa empati, tanpa keterlibatan. Tangisan sebagai penghiburan karena pertunjukkan menarik.
Penonton lain meresponnya dengan cara yang sama sekali tidak masuk akal. Mereka yang kehilangan jubah kemanusiaannya bertepuk tangan ketika tragedi menghancurkan sesamanya. Penonton seperti ini sedang menggali lubang kuburnya sendiri! Penonton lain lagi menikmati tragedi yang berlangsung. Mereka bahkan mensyukurinya karena menganggapnya sebagai bagian dari skenario Sang Sutradara Agung. Tragedi dilihat sebagai theodicy, keadilan Allah! Mereka menikmati dalam seringai!
Solidaritas
Tragedi adalah tanda kerapuhan. Bersikap apatis sebagai penonton menunjukkan krisis spiritualitas akut. Tragedi menyakitkan, tetapi ia adalah kesempatan bersinergi. Apatisme menghancurkan, solidaritas menguatkan. Gelombang tragedi bisa menerjang, tetapi solidaritas kemanusiaan mengokohkan. Kita tetap berdiri tegak.
Solidaritas yang tertanam dalam empati dan cinta adalah kekuatan dahsyat. Inilah respon tepat terhadap tragedi. Tragedi tidak akan lagi membuat orang frustrasi dan merasa sendiri. Solidaritas adalah harapan yang mengatasi tragedi yang membuat kita tampil sebagai pemenang.
Dalam solidaritas, tragedi tidak selalu menghancurkan. Ia justru menjadi peluang mengalami cinta sesama dan menikmati karya kasih Tuhan. “Dalam kelemahanku,” kata Paulus. Kekuatan Tuhan menjadi nyata! Nouwen melanjutkan, kekuatan itu diraih di dalam doa. “Sebuah doa” katanya,“Menempatkan kita dalam rumah dimana Allah berada. Ketika Allah berada bersama kita, selalu ada ketenangan.” Tragedi tidak lagi menakutkan. Tragedi justru menguatkan dan mendewasakan.
Dalam solidaritas dengan sesama dan dalam solidaritas Allah, kita akan berjalan terus dalam harapan dan dalam kemenangan!
Salam,
Albertus Patty
Dimuat di: Selisip.com