Whoopy Goldberg dan Rasialisme!

Whoopy Goldberg, artis kulit hitam African-American yang filmnya Sister Acts meledak dimana-mana, punya pengalaman menarik.

Whoopy diundang untuk menghadiri pertemuan pengusaha dan selebrity kaum kulit putih.

Saat di podium, Whoopy bertanya kepada panitia mengapa dia diundang, padahal dia berkulit hitam.

Panitia menjawab ‘kamu bukan orang kulit hitam, kamu selebriti, orang terkenal yang kami dan semua orang hormati.’

Saat itu Whoopy sadar bahwa prestasi hebat, dalam bidang apa pun, akan membuat seseorang mendapatkan penghormatan. Ia dimanusiakan!

Prestasi hebat melampaui hambatan psikologis apa pun.

Prestasi meruntuhkan sekat sosial yang dibangun manusia.

Kita bisa melihat bagaimana emosionalnya masyarakat kulit putih menyambut sang super star Michael Jackson.

Atau betapa antusias dan hormatnya kaum kulit putih terhadap Michael Jordan, Muhammad Ali atau Martin Luther King Jr.

Para selebriti ini bukan sekedar dimanusiakan, mereka didewakan!

Kita bangga menyebut Rudi Hartono, Susi Susanti dan bahkan Ahok sebagai orang Indonesia.

Sekat rasial sebagai Tionghoa atau non-pribumi yang diciptakan oleh kaum kolonialis seketika lenyap.

Prestasi, dalam bidang apa pun, membuat seseorang dihormati.

Prestasi menempatkan seseorang melampaui batas dan sekat psikologis dan sosiologis.

Sebelum tahun 1920-an, orang Yahudi di Amerika Serikat termasuk bangsa yang direndahkan dan dibenci.

Setelah 1920, isu rasial terhadap Yahudi lenyap. Mengapa?

Salah satunya karena prestasi mereka yang hebat di hampir segala bidang kehidupan.

Sekali lagi, prestasi melampaui sekat ras, agama, warna kulit atau apa pun.

Suka atau tidak suka, kini masyarakat ‘menuntut’ kita memacu diri berprestasi guna meraih penghormatan.

Ada yang frustrasi dengan tuntutan itu.

Ada yang mengambil jalan pintas dengan cara apa pun supaya jadi ‘selebriti’.

Tetapi inti tuntutan masyarakat adalah jadilah manusia kompetitif manusia dengan mental pembelajar guna meraih prestasi tinggi.

Jangan menjadi manusia marjinal, kaum pinggiran yang cuma jadi penonton.

Ini tuntutan positif meski ‘kejam.’

Meskipun demikian, sebagai bangsa, kita harus belajar menghargai dan menghormati harkat dan martabat siapa pun tanpa memandang apakah ia berprestasi atau minus prestasi.

Tidak setiap orang punya kesempatan yang sama.

Dan tidak setiap orang mampu memanfaatkan kesempatan.

Ya, setiap orang harus dihargai dan dihormati martabatnya tanpa memandang agama, etnik, warna kulit atau prestasinya karena kita semua setara.

Kita semua sama-sama manusia ciptaan Tuhan.

 

 

Sumber : manado.tribunnews.com

Bagikan

ARTIKEL TERKAIT

Anies Baswedan Bapak Toleransi Beragama?

Pada 16 Oktober 2022, persis di ujung masa kepemimpinannya sebagai Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dianugerahi julukan sebagai “Bapak Toleransi…

Gerakan Relawan?

Ada fenomena menarik jelang Pemilu 2024. Fenomena itu adalah makin besarnya peran relawan seperti Projo, DGP dan lainnya. Ada puluhan…

Sabam Sirait & Spiritualitas Politiknya

Membicarakan sepak terjang Sabam Sirait dalam dunia politik selalu menarik. Apalagi bila dikaitkan dengan bukunya "Politik itu Suci." Konon, gagasan…

Ketaatan Agama Tanpa Logika

Dengan heran saya selalu bertanya: mengapa para teroris tega menabrakkan pesawat berpenumpang ke gedung WTC? Padahal, konon, para teroris yang…