Yang Sakit, yang Menyembuhkan!

Seorang pengidap Covid-19 bersaksi. “Saat Dokter memvonisku terpapar Covid, aku dicengkram rasa takut dan khawatir. Aku merasakan tubuhku menjadi sangat dingin. Aku merasa beku! Jantungku berdetak keras. Aku haus, tetapi aku mau muntah. Aku meronta, dan menangis sekerasnya. Tangisanku adalah luapan rasa panik. Dalam hati aku bertanya, mengapa ini harus terjadi padaku? O Tuhan. Apa salahku? Mengapa aku? Aku rasakan seolah malaikat kematian menyeringai dan siap menerkamku. Aku benci situasi ini! Aku merasakan yang namanya ketidakberdayaan. Kerapuhan! Aku belum siap mati, teriakku berkali-kali.”

“Setelah meluapkan perasaanku, aku merasa lebih tenang,” katanya. Sejak itu ia belajar berserah. “Mati atau hidup adalah urusan Tuhan,” katanya. Lalu, dia bahkan memutuskan merespon situasinya dengan sukacita dan gembira.

Ia bertekad, bila penyakitnya ini membuatnya mati maka dia mau mati bukan dalam ketakutan. Dia ingin mati dalam kegembiraan. Dalam senyum!

Lalu, dia bersyukur untuk apa yang dialaminya. Dia mulai mengisi hidupnya dengan doa dan nyanyian pujian. “Saat itulah aku merasakan sukacita. Aku semakin kuat,” katanya.

Ia dimasukkan dalam ruang isolasi di salah satu rumah sakit di Jakarta. Ia ditempatkan bersama beberapa pasien pengidap Covid-19. Suasananya cukup menakutkan. Para Dokter, suster dan petugas paramedik menggunakan APD yang ketat. “Saat melihat teman-teman sebangsalku, aku bisa menangkap rasa panik dan ketakutan yang menyelimuti mereka,” katanya.

Memang, musuh terbesar kita bukanlah persoalan atau penyakit itu. Musuh terbesar kita justru ketakutan kita sendiri. Ketakutan menghancurkan kita. Ia melemahkan otot! Meremukkan tulang-tulang! “Aku bersyukur telah melampaui ketakutan itu. Aku tidak akan membiarkan ketakutan mereka memengaruhi diriku,” tekadnya.

Tetapi, tiba-tiba muncul ide untuk menolong teman-teman sebangsalnya mengatasi rasa takut itu. Ia ingin mereka gembira. Tetap berpengharapan! Ini salah satu kunci penting yang akan menolong mereka! “Meski aku sendiri sakit, aku tidak akan membiarkan penyakit ini menghalangiku melayani dan menjadi berkat bagi orang lain,” katanya berapi-api!

Dia bangkit dari tempat tidurnya, berjalan menghampiri pasien penderita Covid-19 lainnya. Dia menawarkan diri berdoa dan bernyanyi bagi mereka. Dia ingin membagi kegembiraan dan harapan! Kedua aspek ini penting bagi survivenya penderita Covid-19 dan bahkan penyakit apa pun. Syukurnya, semua pasien menerima tawarannya.

Dalam kondisi seperti ini, agama tidak memecah-belah kami. Kami semua disatukan dalam penderitaan dan kerapuhan yang sama, dan kami bersimpuh di hadapan Allah yang sama. Dan sesuatu yang luar biasa terjadi. Semua pasien dalam bangsal itu dikuasai kegembiraan.

Mereka berubah! Mereka pasrah tetapi berpengharapan. “Tetapi yang lebih menggembirakan lagi, di antara kami terjalin persahabatan dan persaudaraan. Ini hadiah dari Tuhan,” teriaknya gembira!

Salam,
Albertus Patty

Bagikan

ARTIKEL TERKAIT

Anies Baswedan Bapak Toleransi Beragama?

Pada 16 Oktober 2022, persis di ujung masa kepemimpinannya sebagai Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dianugerahi julukan sebagai “Bapak Toleransi…

Gerakan Relawan?

Ada fenomena menarik jelang Pemilu 2024. Fenomena itu adalah makin besarnya peran relawan seperti Projo, DGP dan lainnya. Ada puluhan…

Sabam Sirait & Spiritualitas Politiknya

Membicarakan sepak terjang Sabam Sirait dalam dunia politik selalu menarik. Apalagi bila dikaitkan dengan bukunya "Politik itu Suci." Konon, gagasan…

Ketaatan Agama Tanpa Logika

Dengan heran saya selalu bertanya: mengapa para teroris tega menabrakkan pesawat berpenumpang ke gedung WTC? Padahal, konon, para teroris yang…